Connect with us

Ruang Literasi

Polemik Wacana Penundaan Pemilu 2024

Published

on

Shaqti Qhalbudien Yusuf

Oleh : Shaqti Qhalbudien Yusuf

Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik – Universitas Paramadina, Jakarta

NEWS – Pemilu 2024 mulai menjadi perhatian utama pada tahun 2022 ini. Berbagai tanggapan dan diskusi mulai muncul dan menjadi perbincangan publik. Dari satu sisi, penurunan trend ekonomi Indonesia yang disebabkan oleh pandemi COVID-19 masih membuat masyarakat merasa depresi dan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar mereka. Namun, di sisi lain, usulan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia juga menimbulkan tanggapan dan penolakan dari masyarakat.

Sebelum membahas wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan, penting untuk memahami prinsip-prinsip dasar dari konstitusi Indonesia. Konstitusi adalah sebuah demokrasi pemerintahan yang menetapkan batasan dan menjamin pelaksanaan pemerintahan yang efektif dan bertanggung jawab.

Untuk memahami diskusi mengenai penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan, kita harus memahami prinsip-prinsip dasar dari konstitusi dan cara kerja sistem pemerintahan demokratis di Indonesia.

 Menurunya Nilai-Nilai Kedulatan

Peraturan mengenai masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI sudah diterapkan sejak zaman Orde Lama, yang melibatkan masa pemerintahan Presiden pertama, Ir. Sukarno. Dalam UUD 1945, Pasal 7 memuat hak presiden untuk dipilih kembali sebagai presiden dalam jangka waktu 5 tahun dan dipilih kembali tanpa batas. Ini menjadi versi awal penjabaran bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah 5 tahun tanpa batas pembatasan. Seiring perjalanan waktu dan perkembangan, peraturan ini sayangnya tidak mengalami perubahan yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman.

Pada era orde baru yang dipimpin oleh Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, aturan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden kembali pada pasal 7 UUD 1945. Akibatnya, kepemimpinan Soeharto bertahan hingga 32 tahun. Namun, dengan datangnya gelombang reformasi pada tahun 1998, pemerintah Indonesia mengubah pasal 7 UUD 1945 sehingga membatasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden hanya selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu periode masa jabatan saja.

Melihat dari Pasal 7 UUD 1945, kita dapat memahami bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diperpanjang. Hal ini berarti bahwa pada saat ini, masa jabatan tidak boleh melebihi tiga periode. Akibatnya, nilai-nilai demokrasi yang telah diterima bersama melalui peraturan tersebut akan berkurang. Oleh karena itu, ide untuk menunda pemilu adalah ide yang mereduksi prinsip kedaulatan rakyat dan tentunya tidak demokratis.

Runtuhnya Demokrasi

Penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden menimbulkan opini beragam dari masyarakat dan kalangan partai politik. Dalam situasi ini, pemerintah harus menghormati hak warga negara untuk bebas menyatakan pendapat. Kebebasan berpendapat adalah dasar demokrasi dan merupakan bagian dari hak asasi manusia.

Namun, saat membicarakan isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden, kita perlu mempertimbangkan etika dan dampak yang dapat ditimbulkan. Perpanjangan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden memiliki pengaruh besar pada tatanan demokrasi Indonesia. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah harus didukung dan diterima oleh masyarakat agar dapat berjalan dengan sukses dan membawa dampak positif bagi masyarakat. Kebebasan berpendapat harus tetap dalam batasan yang sesuai dengan legalitas dan etika, karena kebebasan yang tidak terkendali dapat memicu keributan dan merugikan konstitusi dan hukum. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan dampak dari setiap kebijakan dan memastikan bahwa keputusan diambil dengan dukungan masyarakat yang luas.

 Bahaya Penyalahgunaan Kekuasaan

Dalam kacamata politik, elit sejatinya merujuk pada sekelompok kecil individu yang memegang kekuasaan terhadap rakyat yang berjumlah besar. Elite politik selalu berupaya berargumen bahwa suara mereka merupakan kehendak masyarakat. Padahal penolakan terhadap suatu wacana juga sering terjadi antara masyarakat dengan elite itu sendiri. Meskipun jumlah elite sangat sedikit, namun mereka akan mampu mempengaruhi kondisi masyarakat secara menyeluruh sehingga elite politik disebut sebagai the ruling class.

Meskipun sebagian besar masyarakat akan tidak setuju terhadap keputusan elite, tetapi seorang elite memiliki sarana berupa sumber kekuasaan yang melekat. Menambahkan bahwa walaupun elite sering tampak bersatu namun di antara anggota internal elite maupun dengan kelompok elite lainnya lebih sering bersaing dan berbeda kepentingan.

Sebagai manusia, kita selalu bersaing untuk meraih kekuasaan. Ini disebut sebagai sirkulasi elite. Namun, latar belakang masalah yang muncul saat kita berbicara tentang kekuasaan adalah kepentingan pribadi, yang seringkali bertujuan untuk memperpanjang masa kekuasaan mereka. Konsekuensinya, mereka mungkin akan melakukan tindakan yang tidak etis dan merugikan masyarakat.

Seperti yang dikatakan oleh Lord Acton, “kekuasaan cenderung membudaya dan kekuasaan yang mutlak membudaya secara mutlak”. Oleh karena itu, penting bagi negara untuk membatasi kekuasaan mereka melalui hukum, agar tindakan yang tidak etis dan merugikan masyarakat dapat dihindari.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Gorontalo

JIKA 100 TAHUN LAGI ORANG MENCARI GORONTALO 2025

Published

on

Penulis Zulfikar Tahuru ( Politisi Muda Gorontalo)

Gorontalo – Seratus tahun lagi, ketika orang ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Gorontalo pada 2025, mereka barangkali tidak akan membuka laporan tahunan pemerintah daerah atau risalah rapat yang tersimpan rapi di arsip negara.

Mereka justru akan membuka jejak digital, potongan video pendek, unggahan media sosial, dan rangkaian komentar yang pernah memenuhi media sosial. Dari sana, mereka akan menemukan satu pola penting. Gorontalo 2025 adalah potret kecil negara yang sedang belajar hidup di tengah derasnya arus viralitas.

Tahun itu, berbagai peristiwa terjadi. Sebagian berdampak pada kebijakan, sebagian lain bersifat personal. Namun hampir semuanya memperoleh perhatian publik bukan karena prosesnya, tapi karena tampilannya. Kamera ponsel kerap lebih menentukan arah percakapan publik dibandingkan mekanisme formal yang tersedia.

Salah satu contohnya adalah beredarnya video perjalanan dinas anggota dewan yang disertai narasi keras tentang penyalahgunaan anggaran. Frasa yang digunakan menyebar lebih cepat daripada klarifikasi, dan emosi publik bergerak mendahului proses etik yang seharusnya ditempuh. Persepsi terbentuk oleh potongan visual, sementara penjelasan yang utuh datang belakangan.

Dalam konteks lain, sebuah ajang olahraga Gorontalo Half Marathon yang semestinya menjadi ruang kebersamaan, justru memunculkan perdebatan mengenai simbol dan representasi. Perhatian publik bergeser dari prestasi peserta ke persoalan nama yang tercantum pada medali. Olahraga, identitas, dan politik bertemu dalam ruang yang sama, dipercepat oleh media sosial.

Di Gorontalo Utara, sebuah video singkat menampilkan ekspresi seorang anggota legislatif yang kemudian dikenal sebagai “bibir viral”. Potongan visual itu beredar luas, memicu ejekan dan penilaian personal. Dalam hitungan jam, ekspresi wajah mengalahkan diskusi mengenai kinerja dan tanggung jawab sebagai wakil rakyat. Di titik inilah publik sering lupa: demokrasi tidak pernah dirancang untuk bekerja secepat media sosial.

Fenomena tersebut menandai pergeseran cara publik menilai politik. Anggota DPRD Gorontalo Utara tidak lagi sepenuhnya dinilai melalui kerja legislasi atau keberpihakan anggaran, melainkan melalui momen visual yang kebetulan terekam dan berulang kali diputar.

Yang patut dicermati, sejumlah persoalan sosial dan kekerasan baru memperoleh perhatian serius setelah menjadi viral. Hal ini menunjukkan bahwa atensi publik dan sering kali respons institusi lebih cepat digerakkan oleh popularitas isu dibandingkan oleh mekanisme pelaporan yang sistematis. Keadilan, dalam kondisi tertentu, tampak bergerak mengikuti gelombang perhatian.

Jika seratus tahun lagi Gorontalo 2025 dipelajari, kemungkinan besar bukan daftar peristiwanya yang paling diingat, melainkan cara masyarakat bereaksi. Partisipasi warga meningkat, tetapi kedalaman dialog kerap tertinggal. Semua orang dapat bersuara, namun tidak selalu disertai kesediaan untuk mendengar dan memahami konteks.

Gorontalo tentu bukan satu-satunya daerah yang mengalami hal ini. Apa yang terjadi di sana merupakan miniatur tantangan demokrasi Indonesia di era digital. Media sosial memperluas ruang partisipasi, sekaligus menuntut kedewasaan baru dalam mengelola emosi, informasi, dan penilaian publik.

Seratus tahun ke depan, generasi berikutnya mungkin tidak lagi memperdebatkan siapa yang benar atau salah dalam peristiwa-peristiwa tersebut. Namun mereka akan mencatat satu ciri zaman: pada 2025, demokrasi di banyak tempat dijalankan dalam bayang-bayang viralitas, di mana proses harus berjuang keras untuk tidak dikalahkan oleh potongan gambar. Pertanyaannya bukan seberapa cepat kita bereaksi, melainkan seberapa jauh kita mau berpikir sebelum ikut menyimpulkan.

Continue Reading

News

Tak Ada Lagi TikTok untuk Bocah, Australia Resmi Sapu Bersih Akun Medsos Remaja

Published

on

Perdana Menteri Australia Anthony Norman Albanese || Foto Istimewa

NEWS – Pemerintah Australia memberlakukan larangan bagi semua anak dan remaja di bawah 16 tahun untuk memiliki atau mengakses akun di sedikitnya 10 platform besar seperti TikTok, Instagram, Facebook, X, Snapchat, YouTube, Reddit, dan lainnya. Undang-undang ini merupakan bagian dari perubahan aturan keamanan online dan mulai berlaku secara nasional pada 10 Desember 2025, setelah sebelumnya disahkan parlemen pada 2024.

Perusahaan yang tidak mengambil langkah “wajar” untuk menghapus atau mencegah akun pengguna di bawah 16 tahun terancam denda hingga 49,5 juta dolar Australia (sekitar 33 juta dolar AS). Pemerintah juga mewajibkan platform menerapkan verifikasi usia dan mekanisme teknis lain untuk memastikan anak tidak lagi dapat membuat akun baru maupun mengakses akun lama mereka.

Data pemerintah menunjukkan ada ratusan ribu akun milik anak usia 13–15 tahun yang terdampak langsung oleh aturan baru ini. Perdana Menteri Anthony Albanese menyebutkan terdapat sekitar 440.000 akun Snapchat, 350.000 akun Instagram, sekitar 150.000 akun Facebook, dan 200.000 akun TikTok yang dipegang anak berusia 13–15 tahun di Australia.

Secara keseluruhan, lebih dari satu juta akun milik pengguna di bawah 16 tahun diperkirakan harus dihapus atau dinonaktifkan oleh berbagai platform. Beberapa aplikasi perpesanan dan layanan tertentu seperti WhatsApp, Messenger, YouTube Kids, Discord, GitHub, dan sejenisnya dikecualikan dari larangan penuh, meski tetap berada di bawah pengawasan aturan keamanan online yang lebih ketat.

Pemerintah Australia menjustifikasi kebijakan ini sebagai langkah radikal untuk melindungi kesehatan mental dan keselamatan anak dari dampak algoritma media sosial yang dianggap adiktif dan sarat konten berbahaya. Lonjakan kasus perundungan siber, paparan konten kekerasan dan seksual, hingga kekhawatiran soal risiko grooming dan peningkatan angka bunuh diri di kalangan generasi muda menjadi dasar utama kebijakan ini.

Dalam berbagai kesempatan, Perdana Menteri Anthony Albanese menggambarkan hari berlakunya larangan ini sebagai momentum ketika keluarga Australia “merebut kembali kendali” dari perusahaan teknologi besar dan menyebut kebijakan tersebut sebagai perubahan sosial dan budaya besar bagi negaranya. Ia menegaskan bahwa efek kebijakan ini tidak hanya akan dirasakan di Australia, tetapi juga berpotensi mendorong negara lain mengambil langkah serupa dalam beberapa bulan ke depan.

Media internasional seperti BBC, Reuters, Al Jazeera, Time, dan NPR menyoroti kebijakan ini sebagai larangan media sosial untuk anak yang pertama di dunia dengan cakupan sangat luas. Laporan mereka menekankan bahwa 10 platform terbesar dunia kini wajib memastikan tidak ada akun pengguna Australia di bawah 16 tahun di layanan mereka, atau berhadapan dengan denda besar dari otoritas Australia.

Negara lain mulai menimbang langkah serupa, dengan Malaysia sudah mengumumkan rencana melarang akses media sosial bagi anak di bawah 16 tahun mulai 2026, dan beberapa negara Eropa seperti Prancis, Denmark, Norwegia, serta Uni Eropa memantau atau menyiapkan kebijakan pembatasan usia yang lebih ketat. Di sisi lain, UNICEF dan sebagian pakar kebebasan berekspresi mengingatkan bahwa larangan usia saja tidak cukup dan bisa mendorong anak beralih ke ruang daring yang lebih sulit diawasi, sehingga perbaikan desain platform dan moderasi konten tetap mutlak diperlukan.

Tabel ringkas poin kebijakan

Aspek Rincian utama
Usia yang dilarang Anak dan remaja di bawah 16 tahun.
Platform utama TikTok, Instagram, Facebook, X, Snapchat, YouTube, Reddit, dsb.
Dasar hukum UU/aturan perubahan keamanan online dan usia minimum media sosial 2024.
Mulai berlaku 10 Desember 2025.
Sanksi untuk platform Denda hingga 49,5 juta dolar Australia jika tak cegah akun di bawah 16.
Perkiraan jumlah akun Lebih dari satu juta akun anak terdampak.

Continue Reading

Ruang Literasi

“BUMI” Mengajak Publik Mendengar Bumi Berbicara Lewat Seni

Published

on

Gelaran seni bertajuk BUMI: Integralitas Tubuh–Rasa resmi dibuka di Galeri Dewan Kesenian Surabaya (DKS) pada malam 1 Desember 2025. Pameran ini langsung menarik minat publik karena menyoroti isu ekologi melalui pendekatan lintas disiplin seni. Pameran berlangsung selama satu pekan, 1–7 Desember 2025, dengan menghadirkan puluhan seniman dari berbagai kota.

Pembukaan dilakukan oleh Syaiful Mudjib, seniman dan tokoh Surabaya. Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa pameran ini menjadi ruang penting untuk membaca kondisi bumi melalui bahasa seni. Menurutnya, karya-karya yang ditampilkan menawarkan cara baru memahami kerusakan ekologi tanpa terkesan menggurui.

Pameran BUMI menampilkan lebih dari 35 karya, dari berbagai seniman antara lain Uret Pariono, Caulis Itong, Radillah, Hananta, Merlyna AP, Adhik Kristiantoro, Risdianto, hicak, Lanjar Jiwo, EFKA Mizan, S.E. Dewantoro (Gepeng), Imam Rastanegara, Bang Toyib, Hendra Cobain, Agus Cavalera, Ibob Susu, Robi Meliala, Dani Croot, Afif, Helmy Hazka, Suki, Rinto Agung, Susilo Tomo, Dwest, Biely, Bayu Kabol, Anggoro, Mie Gemes, Gopel, Rusdam, Miki, Boy Tatto, Arsdewo, Heri Purnomo, Syalabia Yasah, Hallo Tarzan, Rinto Agung. Selain itu, beberapa komunitas turut ambil bagian, seperti BAKAR (Batalyon Kerja Rupa) SeBUMI, Family Merdeka, INJAK TANAH, MOM, BOMBTRACK, ATOZ.

Dukungan penuh hadir dari Dewan Kesenian Surabaya, Dewan Kesenian Jawa Timur, Slamet Gaprax, Irma, Paksi, AKA Umam, komunitas pengamen Bungurasi A minor, Pokemon, Mak Yati (teater Api), Hose Of P studio, Pena Hitam, Kopi Sontoloyo & Sontoloyo Gubeng Surabaya, Organized Chaos Sound, Art Cukil Tshirt, serta makhluk tak terlihat di balik karya.

Karya-karya tersebut mengisi galeri dengan instalasi, lukisan, teks, arsip suara, puisi, hingga performa yang bergerak di antara isu tubuh, tanah, dan perubahan ekologis. Konsep pameran dirumuskan oleh Hari Prajitno, M.Sn., yang menempatkan tanah sebagai medium utama eksistensi manusia. Ia menjelaskan bahwa seluruh karya berangkat dari gagasan bahwa tubuh manusia dan bumi memiliki keterhubungan material. “Tubuh dan tanah bukan dua hal yang terpisah. Kita berasal dari tanah, dan suatu hari akan kembali ke tanah,” tegasnya.

Salah satu fokus yang dinikmati pengunjung adalah instalasi visual yang menampilkan citra tanah retak, tekstur bumi yang rusak, serta bunyi-bunyian yang memotret suasana ekologis terkini. Karya-karya tersebut menciptakan atmosfer yang membuat pengunjung merasakan kondisi bumi secara langsung, bukan sekadar membaca data atau kampanye. Selain itu, terdapat kegiatan seperti penanaman pohon di hutan kota, workshop cukil dan batik di Gang Dolly, serta diskusi seni.

Selain pameran karya, acara ini juga menayangkan film dokumenter garapan Daniel Rudi Haryanto. Film tersebut menampilkan potret kerusakan lingkungan di berbagai daerah tanpa narasi berlebihan, namun cukup kuat membangun kesadaran penonton tentang kondisi yang sedang berlangsung. Tepuk tangan panjang mengiringi pemutaran film perdana malam itu.

Pada hari sama, panggung performance di galeri diisi oleh Pandai Api, Family Merdeka, Bombtrack, Magixridim, Arul Lamandau, dan pembawa berkah Aulia. Mereka tampil dengan gaya khas masing-masing dan membawa energi yang memperkuat pesan pameran: manusia dan bumi tidak terpisah; krisis ekologi adalah krisis tubuh itu sendiri.

Pameran dipandu oleh Deni Indrayanti dan Caulis Itong. Pameran ini tidak menampilkan poster ajakan menyelamatkan lingkungan atau slogan klise. Pesan ekologis disampaikan melalui pengalaman inderawi: suara gesekan, cahaya redup, tubuh performer, aroma material bumi, hingga keheningan yang sengaja dihadirkan. Pendekatan inilah yang membuat BUMI tampil berbeda dibanding pameran bertema lingkungan pada umumnya.

Pengunjung pembukaan tampak menikmati rangkaian karya sambil berdiskusi santai di area galeri. Beberapa mengaku memperoleh pengalaman baru dalam melihat isu lingkungan. “Rasanya seperti diajak melihat bumi dari dalam tubuh sendiri,” ujar seorang pengunjung.

Pameran BUMI: Integralitas Tubuh–Rasa masih berlangsung hingga 7 Desember di Galeri DKS, Jl. Gubernur Suryo No.15, Embong Kaliasin, Surabaya. Panitia memastikan pameran tetap dibuka setiap hari hingga penutupan. Acara ini menjadi salah satu agenda seni paling reflektif di akhir tahun, dan menekankan pesan tegas bahwa bumi sedang berbicara—tinggal bagaimana manusia mendengarnya.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler