Pohuwato – Kritik pedas meledak dari Tunas Muda Holandalo (Tumulo) terhadap kepemimpinan Kapolres Pohuwato, AKBP Busroni. Koordinator Tumulo, Kasmat Toliango, secara terbuka menuntut agar Kapolres segera dicopot dari jabatannya menyusul tragedi pembacokan yang melibatkan sesama anggota polisi di Pohuwato.
Menurut Kasmat, peristiwa tersebut merupakan tamparan keras bagi institusi kepolisian sekaligus bukti gagalnya Kapolres dalam membina anggotanya. Ia menegaskan, insiden itu bukan hanya mencoreng nama Polres Pohuwato, tetapi juga memperlihatkan lemahnya implementasi tagline Polisi Mopiyohu yang selama ini didengungkan.
“Tagline Polisi Mopiyohu itu apakah benar-benar ditanamkan atau hanya sekadar bungkusan manis agar terlihat baik? Faktanya, polisi bacok polisi terjadi di Pohuwato. Ini sangat memalukan!” tegas Kasmat.
Ia juga mengingatkan bahwa tragedi Afan Kurniawan belum usai, namun kini muncul kasus baru yang lebih brutal. “Belum selesai luka lama, sekarang muncul lagi. Lagi-lagi polisi bikin ulah,” ujarnya.
Selain itu, Tumulo menuding adanya persoalan lain yang dibiarkan Kapolres, mulai dari isu setoran hingga dugaan pembiaran tempat-tempat tertentu yang meresahkan masyarakat. Menurutnya, hal itu menimbulkan asumsi liar di tengah publik dan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat.
Dengan sederet catatan hitam tersebut, Tumulo menilai Kapolres Pohuwato sudah tidak layak memimpin. “Ada banyak AKBP yang mau bekerja sungguh-sungguh di Pohuwato. Jadi sebaiknya Kapolres mundur saja. Faktanya, beliau gagal total dalam memimpin Polres Pohuwato,” tutup Kasmat.
Pohuwato – Slogan “Polisi Mopiyohu” yang selama ini digembar-gemborkan oleh Polres Pohuwato kini dipelesetkan publik menjadi “Polisi Pembacokan” setelah terjadinya insiden berdarah yang melibatkan dua anggota Polres Pohuwato. Kejadian ini semakin memperburuk citra institusi yang seharusnya menjadi pengayom masyarakat.
Pada pagi hari Minggu, sekitar pukul 08.00 WITA, sebuah insiden pembacokan terjadi di Kafe Pohon Cinta, yang terletak di Kecamatan Marisa, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Korban dalam insiden ini adalah Bripka I, anggota Polres Pohuwato yang bertugas di bagian TAHTI. Ia mengalami luka robek parah di bagian wajah sebelah kiri dengan panjang luka mencapai 40 sentimeter, yang menyebabkan ia terjatuh berlumuran darah.
Terduga pelaku adalah IPTU R, seorang perwira polisi yang menjabat sebagai Kepala SPKT Polres Pohuwato. Fakta bahwa pelaku dan korban adalah aparat penegak hukum semakin memperburuk situasi ini, karena seharusnya mereka menjadi contoh bagi masyarakat. Insiden ini dipicu oleh cekcok kecil yang terjadi setelah keduanya berada di lokasi hiburan malam yang sama, yakni Kafe Deluxe. Ketika pelaku yang diketahui sedang berada dalam pengaruh minuman keras, ia pergi ke mobilnya untuk mengambil senjata tajam dan langsung membacok Bripka I di wajahnya.
Setelah melakukan aksi brutal tersebut, pelaku langsung meninggalkan lokasi kejadian tanpa rasa tanggung jawab. Korban yang berlumuran darah kemudian dilarikan ke RS Multazam Marisa untuk mendapatkan perawatan medis intensif, sementara pelaku masih belum diketahui keberadaannya.
Insiden ini mempertegas lemahnya pengawasan internal di tubuh kepolisian. Banyak pihak yang mempertanyakan bagaimana aparat yang seharusnya menjaga keamanan dan ketertiban justru menjadi pelaku kriminal di ruang publik. Masyarakat kini menuntut agar Polda Gorontalo segera turun tangan dan memproses kasus ini secara terbuka dan adil.
Sampai saat ini, Polres Pohuwato belum memberikan keterangan resmi terkait insiden ini, yang menambah kecurigaan publik terhadap adanya upaya penutupan kasus. Publik menilai bahwa jika kasus ini tidak diproses secara transparan, maka kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian akan semakin tergerus.
Gorontalo – Wakil Gubernur Gorontalo, Idah Syahidah Rusli Habibie, menyampaikan kritik terkait penampilan Tarian Karawo yang sempat menuai perhatian publik dan ramai diperbincangkan di media sosial. Melalui akun Facebook pribadinya, Idah menuliskan, “Tarian Karawo tapi tidak ada motif Karawonya.”
Unggahan ini memicu beragam tanggapan warganet. Sebagian mendukung kejelian Idah, seperti komentar Nur Tosampati Bone yang menulis: “Ibuk sangat jeli. Ayoo sanggar tari upgrade kostumnya dengan motif Karawo.” Namun ada pula yang menilai kritik tersebut kurang tepat. Syarif Rahman, misalnya, menanggapi: “Harusnya itu kewajiban si Ibu untuk melestarikan budaya Gorontalo, bukan malah menjatuhkan.”
Saat dikonfirmasi melalui telepon WhatsApp, Idah meluruskan bahwa kritiknya tidak ditujukan kepada Festival Karawo yang digelar di Grand Palace Convention Center. Ia menjelaskan, “Bukan Festivalnya yang saya kritisi, tapi tarian Karawonya yang ditampilkan di City Mall dalam acara Storytelling Competition Pariwisata Gorontalo.”
Idah menegaskan bahwa Tarian Karawo seharusnya merepresentasikan identitas khas Karawo, baik melalui kostum maupun properti. “Kalau namanya tarian Karawo, mestinya ada identitas Karawo. Kostum atau kipasnya harus bermotif Karawo,” tegasnya.
Lebih lanjut, Idah mengaku kejadian serupa bukan pertama kali ia temui. Ia kerap menyaksikan penampilan Tarian Karawo dalam acara pemerintah maupun hajatan masyarakat tanpa adanya motif Karawo. “Pernah di sebuah sekolah, saya disambut dengan tarian Karawo, tapi tidak ada Karawonya. Saya langsung sampaikan ke kepala sekolah agar menjadi perhatian,” ungkapnya.
Idah berharap sanggar tari dan penyelenggara acara lebih memperhatikan keaslian identitas budaya ke depan. Menurutnya, hal ini penting agar Tarian Karawo benar-benar mencerminkan kekayaan tradisi Gorontalo dan tidak kehilangan ciri khasnya.
Pohuwato – Kasus pembacokan yang diduga melibatkan dua oknum polisi Polres Pohuwato menuai sorotan. Isjayanto H. Doda, pemuda asal Kabupaten Pohuwato, mendesak Polda Gorontalo turun tangan dan menindak tegas tanpa pandang bulu.
Dalam pernyataannya, Isjayanto menegaskan kasus ini tidak bisa dianggap sepele. Menurutnya, tindakan yang dilakukan oknum aparat justru menjadi bentuk pengkhianatan terhadap institusi kepolisian sekaligus mencoreng nama baik Polres Pohuwato yang selama ini mengusung tagline Mopiyohu — simbol pengayoman, kedamaian, dan kedekatan dengan masyarakat.
“Saya mengecam keras tindakan tidak bermoral ini. Polisi seharusnya melindungi, bukan menakut-nakuti masyarakat. Kapolres Pohuwato harus segera menindak anggotanya yang terlibat, jangan sampai ada upaya menutup-nutupi,” tegas Isjayanto, Minggu (28/09/2025).
Ia mengungkapkan, peristiwa pembacokan tersebut dipicu oleh konsumsi minuman keras (miras). Ironisnya, miras yang seharusnya diberantas malah dikonsumsi oleh aparat kepolisian hingga berujung pada tindakan brutal.
“Bagaimana masyarakat bisa percaya dengan polisi kalau pelindungnya sendiri mabuk lalu mengamuk? Ini bukan hanya memalukan, tapi juga berbahaya,” tambahnya.
Kasus ini menambah daftar catatan kelam di tubuh Polres Pohuwato. Isjayanto menilai tanpa adanya penindakan tegas, kepercayaan publik terhadap kepolisian di daerah tersebut akan semakin runtuh.
Ia menekankan, keterlibatan Polda Gorontalo sangat penting agar proses hukum berjalan transparan. Menurutnya, jika kasus hanya ditangani Polres Pohuwato tanpa pengawasan, dikhawatirkan ada upaya melindungi pelaku.
“Jangan sampai hukum tumpul ke atas tapi tajam ke bawah. Kalau rakyat kecil mabuk lalu ribut, langsung ditangkap. Tapi kalau polisi yang mabuk dan membacok orang malah ditutup-tutupi, itu jelas melukai rasa keadilan,” ujarnya.
Masyarakat kini menunggu langkah cepat Kapolres Pohuwato dan Polda Gorontalo untuk memastikan bahwa hukum berlaku bagi siapa pun, termasuk aparat kepolisian. “Jangan biarkan nama baik kepolisian rusak hanya karena ulah segelintir oknum. Pecat mereka jika perlu, hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu,” pungkas Isjayanto.