Connect with us

News

Alasan Identitas Jadi Pertimbangan Eks ISIS Harus Pulang ke Tanah Air, Gorontalo Cocok Jadi Lokasi Deradikalisasi

Published

on

Suasan dialog Mahasiswa Gorontalo dengan tema Gorontalo lokasi rehabilitasi eks ISIS?, di Asrama Gorontalo Jogjakarta, Rabu (12/2/2020).

JOGJA-Pertimbangan untuk memulangkan kembali WNI eks Anggota ISIS ke Indonesia mencuat dalam diskusi Mahasiswa asal Gorontalo di Jokjakarta, Rabu (12/2/2020).

Arief Abbas, Mahasiswa S2 Center for Religious and Cross Cultural Studies UGM Jogjakarta yang menjadi salah satu nara sumber pada diskusi tersebut mengatakan, pemulangan eks ISIS ke Indonesia perlu dipertimbangkan lagi dengan beberapa alasan. Alasan pertama kata Arief dipandang dari sisi identitas dan kemanusiaan. Para eks ISIS kata dia sejatinya merupakan warga negara Indonesia yang secara identitas tidak akan hilang sekalipun dengan cara membakar paspor mereka.

“Upaya untuk tidak memulangkan mereka akan dilihat sebagai penelantaran negara terhadap warga negaranya sendiri,” ujar alumni S1 IAIN Gorontalo itu.

Selanjutnya kata Arif, Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) sebelumnya menyatakan bahwa pemulangan eks ISIS ke Indonesia dapat dilakukan asal dengan komitmen deradikalisasi, sebagaimana pernah dilakukan pada tahun 2017. Olehnya, Indonesia kata Arief sebenarnya hanya membutuhkan arena rehabilitasi untuk bisa mengelaborasi instrumen tersebut. Arena rehabilitasi yang dimaksud di sini jelas Arief adalah sebuah lokasi dengan prasyarat sebagai daerah yang memiliki kondisi sosio-historis minim konflik, praktik toleransi yang kuat, kearifan lokal yang terjaga, serta komitmen dan kesetiaan kepada Republik Indonesia yang menyejarah.

“Di titik inilah sebenarnya instrumen tersebut harus dijalankan secara operasional dan bukan sekadar wacana belaka. Apalagi, selama ini kita tahu bahwa proses rehabilitasi yang dilakukan negara terjadi secara panoptikon: diberlakukan secara ofensif, satu arah dan kebanyakan terjadi dari penjara ke penjara, kamp-kamp konsentrasi, serta asrama-asrama penampungan,” jelas Arief.

Dan yang paling penting tambah Arief, jika pertimbangan pemulangan ini dilakukan, maka keputusan memulangkan eks ISIS ke Indonesia adalah bentuk komitmen pemerintah sekaligus bukti terhadap kemenangan ideologi Pancasila. Di mana, memang benar Pancasila dapat diimplementasikan menjadi semacam tools dan instrumen untuk mengembalikan nasionalisme. Selain itu, jika hal ini coba dikaitkan dengan janji untuk memberantas ideologi radikal yang masuk sebagai salah satu janji pemerintah Indonesia, pemulangan eks anggota ISIS menjadi alasan yang dapat mengukuhkan bahwa Indonesia tercatat memiliki kontribusi untuk memberantas ideologi radikal yang saat ini sedang marak dan menjamur.

Dan di lain sisi, ketakutan pemulangan eks ISIS ke Indonesia menurut Arief merupakan bagian dari kesesatan berpikir (logical fallacy). Sebab, bukannya direhabilitasi, para eks ISIS di mata negara justru menjadi momok yang menakutkan sebelum mereka disentuh.

“Padahal, seharusnya negara memiliki komitmen untuk menjaga dan mengembalikan kesadaran nasionalisme mereka yang hilang sejak meninggalkan Indonesia dan bergabung dengan ISIS. Selanjutnya, negara dalam hal ini tidak memiliki perangkat metodologis berbasis kearifan lokal, dan justru menanggapi isu-isu semacam ini dengan cara yang represif dan defensif,” urai Arief Abbas.

Arief juga mengoreksi metode pencegahan tindak pidana terorisme di Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pasal 28 huruf B PP 77/2019, di mana, di situ disebutkan deradikalisasi dapat dilaksanakan melalui: 1) Pembinaan wawasan kebangsaan; 2) pembinaan wawasan keagamaan; 3) Pembinaan Kewirausahaan. Cara semacam ini menurut dia tidak dapat menyelesaikan akar persoalan yang ada. Sebab masalah identitas terikat erat dengan ideologi, tempat dan kebudayaan.

“Sehingga, salah satu cara yang saya kira paling ampuh untuk meruntuhkan ideologi para eks ISIS adalah dengan mengembalikan kesadaran kultural masyarakat yang terpapar ideologi radikal,” tandas Arief.

Atas dasar itu, Arief kemudian menandaskan kembali jika pemulangan eks ISIS berjumlah 689 itu dilaksanakan, maka Gorontalo menjadi arena yang siap dalam proses deradikalisasi eks-ISIS karena memiliki basis kearifan dan sistem sosial yang kuat. Hal tersebut terbukti bahwa Gorontalo adalah daerah yang tercatat tidak pernah memiliki sejarah konflik antar etnis maupun agama. Selanjutnya, Gorontalo juga kata Arief memiliki ragam kearifan lokal yang menjadi atmosfir positif dalam proyek deradikalisasi.

Sebagai contoh misalnya, ada kebudayaan lokal yang bernama Tolopani, yakni sebuah prinsip untuk menghargai sesama manusia, apa pun identitas, jenis kelamin, warna kulit, perbedaan agama, dan latar etnis mereka; dan Tayade, sebuah prinsip untuk berbagi kepada sesama. Kedua model sistem sosial yang menyejarah ini bahkan jauh lebih tua ratusan tahun sebelum Declaration of Human Rights pada 10 Desember 1948 dicetuskan.

Lebih dari itu, dalam hal komitmen dan kesetiaan kepada Republik Indonesia, Gorontalo tidak perlu diragukan lagi. Sebab dalam sejarah, Gorontalo tercatat merupakan satu-satunya daerah yang pertama kali memerdekakan diri sekaligus mengukuhkan nasionalisme terhadap Indonesia bahkan sebelum Indonesia merdeka (1942). Selain itu, ketika berbagai daerah di Sulawesi mendukung pemberontakan terhadap pemerintah pusat lewat gerakan PERMESTA pada tahun 1957, Gorontalo adalah satu-satunya daerah yang menunjukkan kesetiannya terhadap republik ini dengan tidak ikut terlibat dalam gerakan tersebut. Sehingga, bisa dipastikan dalam proses penanganan dan rehabilitasi eks ISIS ini, Gorontalo bakal menjadi tempat yang paling cocok untuk dijadikan sebagai arena rehabilitasi eks ISIS.

Meski begitu, Arief mengaku bahwa pemulangan eks Anggota ISIS tidak bisa terlaksana tanpa komunikasi antar stakeholder dan para pemangku kebijakan.

“Sehingga, untuk melaksankannya, dibutuhkan keberanian dan kerja-kerja kolektif serta terukur untuk melaksanakannya. Sebab polemik pemulangan eks ISIS ke Indonesia terang diketahui adalah hal yang kompleks dan tidak mudah untuk diselesaikan,” tutupnya.

Gorontalo

Pengamen Gorontalo Ini Siap Ukir Prestasi di Indonesian Idol 2025

Published

on

Gorontalo – Semangat dan ketulusan seorang pemuda asal Gorontalo, Adrianto Ibrahim (24), yang akrab disapa Dion, tengah menyita perhatian publik. Dengan latar belakang sebagai pengamen jalanan sejak September 2023, Dion kini mantap melangkah mengikuti audisi Indonesian Idol 2025, mengusung harapan besar: mengangkat derajat kedua orang tuanya melalui musik.

Dion bukanlah sosok dengan kemudahan dalam hidup. Namun di tengah keterbatasan ekonomi, ia tak pernah goyah mengejar cita-cita. Baginya, musik bukan sekadar hobi atau hiburan, melainkan sarana perjuangan untuk keluar dari lingkaran kemiskinan dan bukti nyata bahwa impian bisa diraih oleh siapa saja.

“Saya pengen naikin derajat kedua orang tua saya lewat prestasi saya dalam mengikuti audisi Indonesian Idol,” ujar Dion penuh haru saat diwawancarai.

Setiap hari, Dion tetap turun ke jalan mengamen demi mengumpulkan biaya persiapan mengikuti audisi. Namun perjuangannya tidak ia jalani sendiri. Dukungan datang dari berbagai kalangan: musisi lokal, kreator konten Gorontalo, hingga Wali Kota dan Bupati Gorontalo, yang turut memberikan dukungan moral dan materiel.

“Untuk sisanya, saya bantu dengan cara ngamen setiap hari, untuk persiapan Indonesian Idol ini,” katanya.

Lebih dari sekadar suara dan nada, musik bagi Dion adalah kekuatan jiwa.

“Musik bisa meningkatkan semangat, membuat orang rileks, dan memberi ketenangan,” ungkapnya.

Dengan keyakinan itu, Dion berharap perjuangannya bisa menjadi inspirasi bagi generasi muda, khususnya mereka yang tumbuh dalam keterbatasan, bahwa mimpi tak pernah mengenal batas ketika disertai tekad dan ketulusan.

“Saya ingin membanggakan kedua orang tua, menaikkan derajat mereka, dan suatu saat bisa membantu orang-orang yang kurang mampu. Itu alasan saya ingin sukses,” tutup Dion.

Langkah Dion menuju panggung Indonesian Idol 2025 kini mendapat sambutan hangat. Publik Gorontalo dan warganet di berbagai platform media sosial menyuarakan dukungan, menjadikan Dion sebagai simbol harapan dan semangat pantang menyerah anak muda Gorontalo.

Continue Reading

Gorontalo

Aktivis Lingkungan Tolak Revisi Palsu UU Kehutanan: “Jangan Jadikan Bioenergi Kedok Perampasan

Published

on

Pohuwato – Rencana revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (RUUK) harus dijadikan momentum untuk melakukan perubahan paradigma secara menyeluruh dalam tata kelola hutan Indonesia. Seruan tersebut mengemuka dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan secara daring oleh Forest Watch Indonesia (FWI), yang turut melibatkan organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan anggota DPR RI.

Dalam forum itu, Anggi Putra Prayoga, Juru Kampanye FWI, menegaskan bahwa paradigma lama yang memposisikan hutan sebagai milik negara secara sepihak—warisan dari era kolonial—telah usang dan terbukti gagal menjawab krisis ekologi dan konflik agraria yang terus berlangsung.

“UU Kehutanan perlu direvisi total. Dengan rata-rata kerusakan hutan mencapai 689 ribu hektare per tahun, kita tidak bisa terus bertahan dengan kerangka hukum yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan lokal,” tegas Anggi.

FWI menekankan tiga poin krusial dalam revisi RUUK:

  1. Mengakhiri dominasi negara atas kawasan hutan, sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 45/PUU-IX/2011, yang mensyaratkan penunjukan, tata batas, pemetaan, dan penetapan kawasan hutan harus melibatkan masyarakat.

  2. Menolak kamuflase pembangunan berkelanjutan, seperti proyek food estate dan bioenergi, yang justru menjadi instrumen perampasan ruang hidup masyarakat lokal.

  3. Mengakomodasi putusan-putusan MK yang menjamin pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat sebagai subjek hukum yang sah.

Dukungan terhadap agenda revisi juga datang dari Riyono, Anggota DPR RI Fraksi PKS, yang menyebut revisi ini sebagai bentuk tanggung jawab konstitusional negara terhadap masyarakat adat.

“Ini bukan hanya mandat hukum, tapi juga mandat moral untuk mengembalikan hak-hak masyarakat adat atas ruang hidup mereka,” tegas Riyono.

Perwakilan masyarakat sipil dari berbagai daerah turut menyampaikan realitas ketimpangan di lapangan. Raden dari WALHI Kalimantan Selatan menyoroti nasib masyarakat adat Meratus yang terus terpinggirkan oleh ekspansi industri.

Syukri dari Link-Ar Borneo menilai proyek Hutan Tanaman Industri (HTI) hanya menjadi kedok untuk perluasan perkebunan monokultur. Sementara itu, Darwis dari Green of Borneo memperingatkan bahwa tanpa prinsip PADIATAPA (Pengakuan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak) serta jaminan perlindungan sosial, revisi UU justru bisa memperluas konflik dan kriminalisasi warga di Kalimantan Utara.

“Jika RUUK tak berpihak pada rakyat dan ekosistem, yang lahir bukan solusi, tapi legalisasi krisis,” tegas Afifuddin dari WALHI Aceh.

Sejumlah aktivis juga mengingatkan bahaya penyalahgunaan narasi transisi energi hijau. Oscar Anugrah dari WALHI Jambi menyebut bahwa proyek-proyek energi terbarukan tak boleh menjadi dalih baru dalam menggusur masyarakat dari ruang hidupnya.

Defri Setiawan dari WALHI Gorontalo mengungkap bahwa investasi bioenergi di Gorontalo telah meminggirkan masyarakat lokal dari lahan-lahan yang mereka kelola secara turun-temurun.

Hal senada disampaikan Zul dari KORA Maluku, yang menyuarakan kondisi masyarakat adat di pulau-pulau kecil seperti Buru yang kerap diabaikan dalam perencanaan program nasional.

“Masyarakat adat tidak boleh hanya diajak berpartisipasi. Mereka adalah pemilik sah hutan yang telah mereka jaga secara turun-temurun,” tegas Zul.

Dari kalangan akademisi, Dr. Andi Chairil Ichsan dari Universitas Mataram menegaskan pentingnya pengelolaan hutan yang adil, tidak lagi dimonopoli negara, dan berpihak pada keadilan ekologi dan sosial.

Dessy Eko Prayitno dari Universitas Indonesia menambahkan bahwa prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas harus menjadi roh UU Kehutanan yang baru. Hal ini harus terlihat mulai dari proses pengukuhan kawasan hutan, pengawasan, hingga penegakan hukum.

Revisi UU Kehutanan menjadi momentum penting untuk mengembalikan fungsi hutan tidak hanya sebagai sumber ekonomi, tetapi juga sebagai ruang hidup dan warisan ekologis yang dikelola secara adil oleh negara bersama masyarakat.

Continue Reading

Gorontalo

Pungli di Balik Skripsi? UNIPO Didesak Bersih-Bersih Pejabat Kampus

Published

on

Pohuwato – Dunia akademik Universitas Pohuwato (UNIPO) tengah diguncang isu tak sedap. Dugaan praktik pungutan liar (pungli) yang menyeret dua pejabat fakultas kembali mencuat ke publik, setelah sebuah unggahan viral dari akun Facebook Lintas Peristiwa pada Kamis (26/06/2025) menandai langsung nama kampus tersebut.

Dalam unggahan itu, dua pejabat kampus yang merupakan pasangan suami istri—masing-masing menjabat sebagai Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)—dituding terlibat dalam praktik pungli dalam proses akademik mahasiswa, mulai dari proposal hingga skripsi.

Sejumlah mahasiswa dari kedua fakultas mengaku, mereka dimintai biaya di berbagai tahapan akademik. Tak hanya itu, mereka menyebut adanya tekanan berupa ancaman nilai gagal jika tidak memenuhi permintaan tertentu dari oknum dosen. Bahkan, muncul pula dugaan praktik joki akademik yang dianggap mencederai nilai-nilai keilmuan.

“Kami dipungut biaya saat proposal, skripsi, hingga revisi. Bahkan ada permintaan pribadi yang harus dipenuhi. Kalau tidak, kami diancam dapat nilai E atau error,” ungkap salah satu mahasiswa semester akhir, yang meminta identitasnya dirahasiakan.

Beberapa mahasiswa mengaku telah menyimpan bukti berupa rekaman suara dan video, dan menyatakan siap menyerahkannya jika ada penyelidikan resmi dari pihak eksternal.

Menanggapi isu tersebut, RD, Dekan FKIP UNIPO, membantah keras semua tudingan. Ia menegaskan bahwa tidak pernah ada permintaan pungutan liar kepada mahasiswa, dan semua kebijakan yang ia jalankan selalu merujuk pada aturan akademik kampus.

“Kalau soal proposal dan skripsi, itu sepenuhnya tanggung jawab mahasiswa. Saya selalu siap membimbing jika diminta. Tidak pernah ada paksaan, apalagi permintaan uang,” jelas RD kepada media, Jumat (27/06/2025).

Hal senada disampaikan oleh U, Dekan FISIP UNIPO. Ia menyebut tudingan yang diarahkan kepadanya tidak berdasar.

“Tidak pernah ada tekanan, apalagi jual beli nilai. Saya selalu terbuka membantu mahasiswa, dan semua proses akademik dilakukan transparan,” tegasnya.

Dugaan pungli ini menimbulkan keresahan luas di kalangan sivitas akademika. Banyak pihak mendorong agar Yayasan UNIPO, Pembina Yayasan, serta LLDikti Wilayah XVI Gorontalo segera turun tangan melakukan audit menyeluruh dan evaluasi total terhadap tata kelola kampus.

Desakan ini muncul bukan hanya untuk menindak pelanggaran, melainkan juga untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan tinggi di Pohuwato.

“Kampus adalah tempat menumbuhkan ilmu, bukan tempat menumbuhkan transaksi. Bila ada oknum yang mencemari integritas akademik, maka harus segera dibersihkan hingga ke akar-akarnya,” ungkap salah satu aktivis mahasiswa.

Hingga berita ini diturunkan, pihak rektorat Universitas Pohuwato belum memberikan klarifikasi resmi. Redaksi Barakati.id tetap membuka ruang hak jawab kepada semua pihak yang disebutkan dalam pemberitaan ini, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler