Connect with us

News

Lima Nelayan Diselamatkan Setelah 55 Hari Terombang-ambing di Laut : Kisah Bertahan Hidup dan Ketahanan

Published

on

Seorang tentara memeriksa tanda vital salah satu dari lima nelayan yang selamat, yang diselamatkan setelah terombang-ambing selama lebih dari 50 hari, di Pangkalan Angkatan Laut San Cristobal, Kepulauan Galápagos, pada 10 Mei. Ekuador Navy/AP

Dalam sebuah kisah luar biasa tentang bertahan hidup, lima nelayan, tiga dari Peru dan dua dari Kolombia, diselamatkan setelah menghabiskan 55 hari yang penuh tantangan terombang-ambing di laut. Kisah perjuangan dan daya tahan mereka menarik perhatian dunia setelah mereka ditemukan pada 7 Mei 2025 oleh kapal tuna asal Ekuador, Aldo, sekitar 1.200 kilometer dari titik keberangkatan mereka di Teluk Pucusana, Peru. Para nelayan ini telah hilang sejak pertengahan Maret, dan keberhasilan mereka bertahan hidup menjadi bukti ketahanan manusia dalam menghadapi kesulitan ekstrem.

Perjalanan para nelayan dimulai seperti kebanyakan perjalanan nelayan lainnya, dengan sebuah trip memancing di lepas pantai Peru. Namun, perjalanan ini berubah menjadi bencana ketika alternator kapal mereka rusak hanya dua hari setelah berangkat. Kerusakan tersebut menyebabkan sistem komunikasi dan navigasi kapal tidak berfungsi, meninggalkan para nelayan terombang-ambing di tengah laut tanpa kemampuan untuk meminta bantuan atau mengarahkan kapal.

Tanpa akses ke daya atau alat navigasi yang memadai, para nelayan tersebut terpaksa mengapung tanpa arah di Samudra Pasifik yang luas. Tanpa cara untuk meminta pertolongan dan tanpa kendali atas kapal mereka, mereka berada di tangan elemen alam. Para nelayan menghadapi tantangan untuk tetap hidup di tengah salah satu lautan terbesar dan terjauh di dunia.

Seiring berjalannya waktu, situasi para nelayan semakin putus asa. Tanpa air bersih dan persediaan makanan yang cukup, para nelayan tersebut terpaksa mengandalkan air hujan yang mereka kumpulkan, serta air laut yang asin. Mereka juga harus meminum air berkarat yang diambil dari mesin kapal. Ketidakadaan makanan menjadi masalah besar, namun para nelayan berhasil menangkap ikan yang lewat, yang mereka rebus untuk bertahan hidup selama perjalanan mereka.

Meskipun cara bertahan hidup mereka terdengar suram, ketangguhan para nelayan yang mampu bertahan selama hampir dua bulan ini sungguh luar biasa. Mereka hidup dalam keadaan ketidakpastian dan ketakutan yang konstan, tetapi tekad mereka untuk tetap hidup dan menemukan cara untuk kembali ke rumah adalah apa yang membuat mereka terus bertahan.

Para nelayan melaporkan bahwa semangat mereka terangkat dengan sesekali melihat ikan-ikan yang melewati mereka dan memberikan mereka asupan penting. Dalam lingkungan yang tak kenal ampun seperti itu, bahkan sumber daya terkecil pun menjadi sangat berharga.

Meskipun menghadapi masa sulit, para nelayan dilaporkan berada dalam kondisi stabil ketika mereka akhirnya diselamatkan. Meski mereka mengalami dehidrasi, malnutrisi, dan kelelahan setelah berbulan-bulan di laut, kelangsungan hidup mereka benar-benar luar biasa mengingat kondisi ekstrem yang mereka alami.

Pada 7 Mei 2025, keberuntungan para nelayan berubah ketika Aldo, kapal tuna asal Ekuador, menemukan mereka yang terombang-ambing di lautan terbuka. Kru kapal Aldo sedang melakukan operasi reguler di area tersebut ketika mereka melihat kapal para nelayan. Setelah melakukan penilaian cepat terhadap situasi, kru Aldo segera memulai operasi penyelamatan. Dalam beberapa jam, kelima nelayan tersebut berhasil naik ke kapal Aldo dan dalam perjalanan menuju Kepulauan Galápagos, di mana mereka diberikan perhatian medis dan dukungan.

Operasi penyelamatan ini menjadi harapan bagi keluarga para nelayan yang telah lama menunggu kabar tentang orang-orang tercinta mereka sejak pertengahan Maret. Otoritas Ekuador bekerja cepat untuk memastikan kepulangan para nelayan ini, berkoordinasi dengan pejabat Peru dan Kolombia untuk memfasilitasi perjalanan mereka pulang.

Kisah selamatnya para nelayan ini mendapat sambutan lega dan kagum, tidak hanya dari keluarga mereka tetapi juga dari masyarakat internasional. Cerita mereka menjadi simbol kekuatan manusia dan kehendak untuk bertahan hidup di hadapan kesulitan yang seolah mustahil.

Penyelamatan ini datang hanya beberapa bulan setelah kisah bertahan hidup yang luar biasa lainnya. Pada Maret 2025, nelayan Peru, Máximo Napa, yang berusia 61 tahun, berhasil bertahan hidup selama 95 hari sendirian di laut setelah kapalnya terdampar di lepas pantai Ekuador. Napa akhirnya diselamatkan oleh kapal Ekuador, seperti kelima nelayan ini, dan dibawa kembali ke Lima, Peru, di mana ia bersatu kembali dengan keluarganya. Kisah Napa, yang juga banyak diberitakan, mengingatkan kita akan banyaknya bahaya yang dihadapi oleh nelayan di perairan ini.

Kedua kasus ini, termasuk kisah kelima nelayan yang baru saja diselamatkan, menyoroti kondisi berbahaya yang dihadapi oleh nelayan di Samudra Pasifik. Luasnya lautan, cuaca yang tak terduga, dan kegagalan mekanis menciptakan kombinasi yang sangat berbahaya. Bagi mereka, kehendak untuk hidup dan kemampuan untuk beradaptasi serta memanfaatkan segala sumber daya yang ada adalah hal yang sangat penting untuk memastikan kelangsungan hidup mereka.

Kisah bertahan hidup para nelayan ini mengangkat pertanyaan penting mengenai keselamatan mereka yang bekerja di laut, terutama di daerah-daerah di mana infrastruktur dan sumber daya maritim mungkin terbatas. Perikanan adalah industri yang sangat penting bagi negara-negara seperti Peru dan Kolombia, dan banyak nelayan mengandalkan kapal-kapal mereka untuk mata pencaharian. Namun, insiden seperti ini menunjukkan pentingnya meningkatkan langkah-langkah keselamatan dan pelatihan yang lebih baik bagi nelayan, serta layanan penyelamatan dan darurat yang lebih tanggap.

Pihak berwenang di Ekuador dan Peru telah menyerukan peningkatan kerja sama antara kedua negara dalam hal keselamatan maritim dan operasi penyelamatan. Peristiwa-peristiwa ini juga menyoroti pentingnya investasi dalam pemeliharaan kapal-kapal perikanan, memastikan bahwa para nelayan dilengkapi dengan alat komunikasi dan navigasi yang andal, serta memberikan mereka lebih banyak dukungan dalam menghadapi keadaan darurat.

Perjalanan luar biasa kelima nelayan ini berakhir setelah lebih dari 50 hari terombang-ambing, namun kisah mereka akan terus menginspirasi banyak orang. Ini menjadi pengingat kuat tentang kekuatan semangat manusia dan kemampuan bertahan hidup di tengah kesulitan yang paling ekstrem. Kemampuan mereka untuk bertahan dalam kondisi yang begitu sulit akan menginspirasi orang lain, baik dalam komunitas nelayan maupun di luar itu, untuk menghadapi tantangan dengan ketangguhan dan keberanian.

Ketika para nelayan ini pulih dan kembali ke keluarga mereka, kelangsungan hidup mereka yang ajaib tidak hanya akan dikenang sebagai kisah luar biasa tentang ketahanan manusia, tetapi juga sebagai panggilan untuk meningkatkan keselamatan nelayan dan mereka yang bekerja dalam kondisi berbahaya di laut.

Penyelamatan kelima nelayan setelah 55 hari terombang-ambing di laut adalah bukti ketangguhan mereka dan kemampuan semangat manusia untuk mengatasi tantangan paling ekstrem. Sementara kelangsungan hidup mereka luar biasa, kejadian ini juga membawa perhatian pada risiko yang dihadapi oleh nelayan di Pasifik dan perlunya langkah-langkah keselamatan yang lebih baik di industri maritim. Kisah mereka pasti akan menjadi sumber inspirasi, mengingatkan kita semua akan kekuatan luar biasa yang bisa digerakkan saat menghadapi rintangan yang tampaknya tak teratasi.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Gorontalo

Di Balik Atensi Rp5 Juta, Kepala Desa Tirto Asri Buka Suara

Published

on

Pohuwato – Kepala Desa Tirto Asri, Kecamatan Taluditi, Kabupaten Pohuwato, Hajir Towalu, mengakui adanya pengumpulan dana atau “atensi” sebesar Rp5 juta per alat berat yang beroperasi di lokasi tambang ilegal di wilayahnya. Menurutnya, dana tersebut digunakan secara gotong royong untuk memperbaiki akses jalan dan melakukan normalisasi sungai di tiga desa, yakni Tirto Asri, Kalimas, dan Puncak Jaya.

Hajir menjelaskan, pengumpulan dana itu bukan bentuk pungutan liar, melainkan hasil kesepakatan bersama antara warga dan pihak pengguna alat berat yang beroperasi di kawasan tersebut.

“Setahu saya, itu dilakukan untuk perbaikan jalan yang dilalui alat berat. Setiap alat menyumbang Rp5 juta, dan dana itu digunakan untuk memperbaiki jalan di tiga desa: Tirto Asri, Kalimas, dan Puncak Jaya,” ujarnya saat dikonfirmasi Kamis (6/11/2025).

Ia menambahkan, kegiatan perbaikan infrastruktur itu mencakup pembenahan jalan yang rusak, pembangunan kembali jembatan yang terdampak aktivitas tambang, serta normalisasi sungai yang mengalami penyempitan akibat sedimentasi dan kegiatan tambang.

“Kemarin para penambang juga ikut membantu pelaksanaan normalisasi sungai sepanjang sekitar 750 meter. Semua pekerjaan dilakukan secara swadaya menggunakan dana dari atensi yang dikumpulkan itu,” tambah Hajir.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa pelaksanaan kegiatan dilakukan secara bergilir di tiga desa tersebut, dengan melibatkan masyarakat setempat yang terdampak langsung oleh aktivitas alat berat.

Ketika ditanya mengenai pihak yang mengoordinasi pengumpulan dana, Hajir menegaskan bahwa kegiatan tersebut dilakukan oleh warga sendiri, terutama masyarakat Desa Puncak Jaya.

“Kalau di Puncak Jaya, masyarakat sendiri yang mengumpulkan. Sementara di desa lain, biasanya pelaku tambang yang mengatur,” jelasnya.

Terkait identitas pelaku usaha tambang di wilayah itu, Hajir mengaku hanya mengetahui sebagian, khususnya warga lokal asal Taluditi. Sementara pelaku tambang dari luar daerah tidak diketahui secara pasti.

“Yang saya tahu hanya warga lokal Taluditi. Untuk warga dari luar daerah, saya tidak tahu,” pungkasnya.

Aktivitas tambang di wilayah Taluditi hingga kini masih menjadi sorotan. Meskipun memberi dampak ekonomi bagi sejumlah warga, keberadaannya juga menimbulkan persoalan lingkungan dan kerusakan infrastruktur yang kini menjadi perhatian serius pemerintah desa.

Continue Reading

Gorontalo

Gebrakan Baru: PeHa Washpresso Luncurkan Program dan Salurkan Peha Peduli

Published

on

Gorontalo – PeHa Washpresso menandai satu tahun eksistensinya di tengah masyarakat Gorontalo melalui acara penuh makna sosial pada Rabu (05/11/2025). Pada momen istimewa ini, PeHa Washpresso secara resmi meluncurkan program “Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum” serta menyerahkan bantuan PeHa Peduli kepada dua mahasiswa perantau yang membutuhkan.

Acara berlangsung dengan nuansa hangat dan kebersamaan. Pemilik PeHa menegaskan, sejak awal kehadirannya, PeHa Washpresso bukan sekadar tempat menikmati kopi, melainkan menjadi ruang pertemuan, diskusi, berkembang, serta saling menguatkan komunitas.

“PeHa lahir bukan hanya sebagai tempat ngopi. PeHa hadir sebagai ruang temu, ruang tumbuh, dan wadah saling menguatkan,” jelas Yakop Mahmud, S.H., M.H., pendiri Pojok Literasi Hukum PeHa.

Melalui program PeHa Peduli, PeHa memberikan bantuan sebesar Rp 1.000.000 kepada dua mahasiswa perantau. Bantuan ini diharapkan dapat membantu keperluan sehari-hari penerima.

“Angka bantuan mungkin sederhana, namun kami ingin menegaskan bahwa setiap kebaikan, sekecil apapun, sangat berarti. Semoga ini menjadi pengingat bahwa kebersamaan bukan hanya berbagi cerita dan meja, tetapi juga kepedulian,” tambah Yakop.

Penerima manfaat menyampaikan apresiasinya. “Terima kasih kepada Owners PeHa atas kepeduliannya terhadap kehidupan mahasiswa rantau di Gorontalo. Bantuan ini sangat membantu kami,” ujar salah satu penerima.

Pada kesempatan yang sama, PeHa memperkenalkan program “Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum”, yakni diskusi hukum mingguan yang membahas isu-isu aktual di Gorontalo. Program ini terlaksana atas kerja sama Pojok Literasi Hukum PeHa dan Senat Mahasiswa Fakultas Hukum.

Ketua Senat FH UNG, Sandi Idris, turut mengapresiasi langkah PeHa Washpresso. “Kami berharap program ini dapat terus berjalan, mencerahkan masyarakat Gorontalo dan membawa dampak positif terhadap literasi hukum di daerah,” paparnya.

Melalui komitmen kebersamaan dan kepedulian, PeHa Washpresso menegaskan posisinya sebagai ruang komunitas dan wadah aktivitas bermakna untuk masyarakat Gorontalo.

Continue Reading

Gorontalo

PeHa Washpresso Hadirkan Gerakan Baru: Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum

Published

on

Gorontalo – Pojok Literasi Hukum PeHa Washpresso bekerja sama dengan Senat Mahasiswa Fakultas Hukum meluncurkan program diskusi hukum mingguan bertajuk “Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum”. Kegiatan perdana digelar pada Rabu, 5 November 2025, pukul 15.30 WITA di PeHa Washpresso.

Diskusi perdana ini mengangkat tema “Pencemaran Nama Baik dan Media Sosial: Batasan antara Kritik dan Pencemaran Nama Baik (UU ITE, KUHP, dan Bukti Digital)”, dengan narasumber Faizal Akbar Ilato, S.H., Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo. Acara dipandu oleh Andi Aulia Arifuddin, S.H., M.H., Founder Gopos.id sekaligus pemerhati isu komunikasi publik.

Kegiatan ini dihadiri oleh mahasiswa Fakultas Hukum, praktisi muda, pegiat literasi digital, serta masyarakat umum yang antusias membahas batasan kritik dalam ruang digital dan konsekuensi hukumnya.

Dalam paparannya, Faizal Akbar Ilato menegaskan bahwa batas antara kritik dan pencemaran nama baik bergantung pada unsur niat, konten, dan konteks pernyataan. Ia menjelaskan bahwa Pasal 310 dan 311 KUHP serta ketentuan dalam UU ITE secara tegas mengatur konsekuensi hukum terhadap pernyataan yang dapat merusak kehormatan seseorang, baik secara langsung maupun melalui media sosial.

“Media sosial adalah ruang publik. Kritik diperbolehkan, tetapi harus disampaikan secara beretika, sesuai kaidah hukum, dan tidak mengarah pada penghinaan atau serangan pribadi,” ujarnya.

Diskusi berlangsung interaktif ketika peserta menanyakan contoh-contoh kasus nyata, baik di tingkat lokal maupun nasional, termasuk bagaimana bukti digital seperti tangkapan layar, rekaman, dan riwayat percakapan digunakan dalam pembuktian pidana.

Di akhir kegiatan, forum menyimpulkan pentingnya kehati-hatian pengguna media sosial dalam menyampaikan pendapat yang menyangkut nama baik dan martabat orang lain. Peserta sepakat bahwa kritik yang baik adalah yang mengedepankan substansi masalah tanpa menyerang pribadi.

Pendiri Pojok Literasi Hukum PeHa, Yakop Mahmud, S.H., M.H., menyampaikan bahwa kegiatan ini diharapkan menjadi wadah masyarakat Gorontalo untuk membahas isu-isu hukum kontemporer secara santai namun tetap substansial.

“Melalui ruang diskusi ini, kami ingin menghadirkan edukasi hukum yang mudah dipahami, membumi, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Harapannya, kegiatan seperti ini dapat menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat Gorontalo,” ungkapnya.

Program “Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum” akan diselenggarakan setiap minggu di PeHa Washpresso dengan tema-tema aktual yang dekat dengan kehidupan masyarakat.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler