Connect with us

News

Memenangkan Chamdi dan Tomy adalah Keniscayaan

Published

on

Oleh: Moh. Nurmawan

Sejak pertama kali digelar (2005), Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) selalu menyisahkan cerita-cerita epik dibalik peyelenggaraannya. Tak terkecuali kisah di balik para peserta pemilu, panitia pelaksana di tempat-tempat pemungutan suara, yang juga tidak ketinggalan dengan cerita-cerita dramatis di balik pesta rakyat yang dirayakan hanya sekali dalam kurun waktu 4 atau 5 tahun itu.

Pilkada sejatinya adalah pesta perayaan, tentu tidak akan menarik jika para peraya tidak memiliki jagoan atau calon yang diunggulkan. Pilkada akan terasa hambar jika tidak ada riyak-riyak dari para simpatisan, tidak ada saling “bakase palato” di antara pendukung. Paling tidak, dalam momen pemilu, kita akan menyaksikan orang-orang yang tetiba jadi melek politik. Peristiwa melek politik itulah yang kehadirannya bagaikan kutukan dari “juru politik”, mau tidak mau, suka atau tidak, mayoritas orang tidak punya pilihan lain selain menikmati kutukan dari sang juru politik. Demikian apa yang saat ini sedang saya nikamati.

Di Kabgor, ada empat calon kepala dan wakil kepala daerah yang disahkan oleh KPU. Satu di antaranya adalah pendatang baru. Ya, siapa lagi kalau bukan pasangan Chamdy Mayang dan Tomy Ishak.

Pasangan yang sejak disahkannya itu, hadir membawa- nuansa politik yang baru, di KabGor. Chamdy dan Tomy seolah membawa kesegaran baru dalam berpolitik. Santuy, ramah dan mengasyikan. Maka tidaklah heran jika saya ikut-ikutan melek dengan cara berpolitik mereka. Lebih-lebih sosok Tomy yang hadir sebagai representasi dari kelompok milenial. Bersama Chamdy, Tomy menghadirkan politik kolaborasi antara generasi milenial dan generasi tua. Bukankah seharusnya memang seperti itu? Maksud saya, politik tidak akan berjalan seimbang jika para pelakunya hanya ditentukan oleh keleompok tertentu.

Dalam beberpa kesempatan, saya mencoba mencari berbagai artikel yang secara umum menggambarkan visi dan misi kedua sosok calon pemimpin masa depan di KabGor itu. Alhasil, saya menemukan sebuah misi mulia Chamdy dan Tomy, yaitu keinginan besar mereka untuk mengembalikan nilai-nilai luhur budaya Gorontalo yang di antaranya adalah “Moawota” dan “Mohuyula” dalam mendukung pembangunan di masyarakat. Sebuah misi yang bahkan seorang “bergelar adat” pun belum tentu berpikir hal yang serupa dengan gagasan Chamdy dan Tomy.

Secara umum, dalam kebiasaan “Ta Mongo Panggola”, Moawota dan Mohuyula adalah sebuah tradisi masyarakat Gorontalo di kala itu. Tradisi yang terbentuk secara alami berdasarkan persamaan hidup orang-orang Gorontalo. Namun, seiring dengan gerak zaman yang telah memasuki era modernitas, Moawota dan Mohuyula mulai terkikis oleh budaya-budaya baru. Orang-orang Gorontalo kian tertarik dengan sesuatu yang sifatnya instan.

Tidak hanya itu, misi Chamdy dan Tomy berhasil menuntun saya bernostalgia pada zaman, di mana saya hidup sebagai anak kecil. Ya, dan itu di mana sebuah pesta (resepsi pernikahan) kakak sepupu saya akan berlangsung. Saya masih ingat bagaimana para tetangga turut membantu mendirikan “bandayo” pernikahan. Ibu-ibu yang turut serta melebur di dapur untuk memeprsiapkan makanan bagi bapak-bapak yang sedang mendirikan bandayo tersebut. Semua orang turut merasakan kebahagiaan kedua calon pengantin. Semua orang adalah saudara. Semua orang adalah pemilik pesta pernikahan. Pun semua orang turut berbahagia. Dan itu terjadi tatkala Moawota dan Mohuyula masih tertanam dalam diri setiap masyarakat Gorontalo.

Berbeda dengan situasi saat ini; Orang-orang lebih cenderung melaksanakan pesta pernikahan di gedung-gedung mewah, makanan pun harus ketringan. Orang yang turut hadir di pesta pun hanya sekdar datang dan berselfi ria. Pada akhirnya tidak ada yang membekas dalam ingatan selain banjir poto yang menghiasi beranda sosial media dan doa-doa yang diharapkan dikabulkan oleh Mark. Budaya gengsi dan malu berhasil menggusur budaya Moawata dan Mohuyula hingga ke pinggiran kota. Beruntung jika masih ada beberpa desa yang tetap memegang teguh budaya Moawata dan Mohuyula itu. Saya dan kita semua akan merasa bersyukur, tentunya.

Maka pada Chamdy dan Tomy-lah harapan besar itu ada. Kelak, nilai luhur di Gorontalo, khususnya di Limboto akan kembali pada derajat yang semestinya.

Saudara pembaca yang sudah mandi -pagi- dan sedang tersenyum saat membaca tulisan ini.

Bukan tanpa alasan saya berani menuliskan catatan ini. Namun alangkah baiknya saya mengajak saudara sekalian kembali menengok judul di atas “Memenangkan Cahamdy dan Tomy Adalah Sebuah Keniscayaan” sebab di antara mereka ada tradisi yang sedang dipertaruhkan.

Sampai di sini, saudara boleh saja untuk tidak sepakat dengan judul tulisan saya. Namun bukan berarti saudara juga akan menolak sepenuhnya untuk memenangkan pasangan Chamdy dan Tomy.

Salam hangat dari lubuk HATI saya yang paling dalam untuk saudara sekalian.

Gorontalo

Pilkada Gorontalo, Perang Data dan Efisiensi Pemenang

Published

on

Oleh : Dr. Funco Tanipu, ST., M.A
(Dosen Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo)

Pilkada tidak bisa dilepaskan dari istilah “perang”. Namun, perang yang penting adalah bagaimana menyiapkan sumber daya, mengelolanya dan memformulasikannya menjadi bahan untuk kontestasi yang lebih bermartabat.

Pada sebagian kalangan, khususnya tim sukses tertentu, memenangkan pilkada dalam artian menaikkan elektabilitas harus linier dengan “isi tas”.

Padahal, sumber daya tidak semata soal berapa banyak uang yang tersedia. Tetapi yang paling penting berapa banyak data yang kita pegang dan miliki serta olah.

Era IoT (Internet of Think), Big Data, AI (Artificial Intelegence) menjadi semacam tantangan para jendral perang politik di lapangan.

Saat ini, medan perang (field) harus ditafsirkan lebih kontemporer. Medan tidak bisa lagi disebut desa/kelurahan termasuk RT dan RW/Dusun, yang juga disebut sebagai primary sampling unit (PSU) dalam bahasa para surveyor.

Medan (PSU) kini telah berkecambah menjadi room, viewers, channel, groups, page, followers, likers. Persepsi tidak bisa disederhanakan lagi sebagai voice warga yang diwawancarai oleh surveyor secara tatap muka (face to face) dan door to door (rumah ke rumah) pada setiap kali survey. Voice hari ini bisa diterjemahkan sebagai “click activism”.

Perang pilkada sudah berubah. Kekuatan data dan informasi mesti dikawinkan antara field yang “land” dan field yang “virtual”. Kedua field yang berbeda ini mesti dipahami dan dimaknai secara holistik, tidak bisa dipisah-pisah.

Implikasinya ada pada perumusan strategi politik yang mix-methode. Field tidak bisa dipahami secara sempit pada sisi sosio-antropologi (kualitatif) semata, tidak bisa juga hanya dari sisi positivistik-kuantitatif juga, namun mesti menggabungkan keduanya dalam template digital.

Mengapa harus begitu? Karena setiap orang memiliki perangkat digital yang ia pegang melampaui 8 jam per hari.

Keuntungan big data adalah kita bisa mengolah dan merancang skema pemenangan berdasarkan pada rekaman perubahan perilaku voters secara real time. Berbeda dengan snapshot yang kita lakukan dengan metode sosio-antropologis (indepth interview) atau pengukuran kuantitatif (survey) yang hanya bisa merekam data dalam kurun waktu yang tidak lama dan tidak real time.

Para marketers di perusahaan besar misalnya, mereka menggunakan basis data “struck pembayaran” di kasir untuk memotret perilaku konsumen, apa yang sering orang beli, pada waktu kapan, berapa uang yang dikeluarkan dan berapa lama seseorang bertransaksi. Dari data tersebut, bisa diolah dan disimpulkan seperti apa loyalitas dan perilaku konsumen termasuk kekuatan brand setiap produk yang dijual.

Karena itu, perumusan isu, agenda serta strategi mesti didasarkan pada input data dan informasi yang holistik dan komprehensif. Sebab, jika kita lihat peta demografi penduduk, jumlah penduduk bermental urban lebih banyak dengan yang berperilaku rural. Secara geografis lebih besar yang berada di rural, tapi mentalitas cenderung urban.

Sayangnya, era big data juga dihadapkan pada rendahnya literasi digital warga urban tadi, sehingga isu hoax dikonsumsi secara massif.

Makanya, menjadi tantangan kedepan adalah pola manipulasi data dan informasi yang bisa mengoyak tenun kekerabatan dan persaudaraan. Tantangan era data ada pada konfirmasi, filter dan cross-checking data. Hanya saja, kemampuan analisis-kritis ini tidak dimiliki oleh sebagian besar warga kita.

Kemenangan Trump di US pada beberapa waktu silam pun demikian, big data menjadi kata kunci kemenangan. Perekaman perilaku warga US di media sosial dalam kurun waktu tertentu telah menghasilkan serangkaian data mengenai perilaku pemilih Presiden. Justifikasi kampanye Trump mengenai sentimen ras, soal isu pembelahan agama, dan hal hal yang dianggap “negatif” dalam demokrasi, malah berhasil memenangkan Trump. Sebab, pilihan isu itu (walaupun negatif dalam konteks demokrasi) adalah hasil dari pengolahan data time series yang cukup panjang dan hasil simulasi data digital dan data real.

Karenanya, momentum Pilkada yang sedang berjalan, kemungkinan besar akan berubah peta dan polanya. Siapa yang menguasai data yang berupa pola, perilaku dan model interaksi voters secara real time, dialah yang akan memiliki peluang untuk memenangkan perang.

Pemenangan pilkada tentu harus diarahkan pada pola yang efisien dan efektif, bahwa uang yang selama ini menjadi “dasar utama bergerak”, bukanlah faktor satu-satunya. Sebab, jika seorang kandidat dipaksa harus mengeluarkan budget Pilkada yang sangat besar, maka dipastikan pada proses memimpin nanti, pemimpin terpilih tidak akan fokus dalam pelayanan kepada publik, tetapi hanya fokus pada bagaimana mengembalikan anggaran yang besar diserap Pilkada.

Hal tersebut diatas sebagaimana apa yang disebutkan oleh Sun Tzu, seorang jendral perang legendaris; “Jenderal yang paling hebat adalah ia yang dapat mencapai tujuan perangnya tanpa melakukan pertempuran. Itu artinya bahwa perang dalam konteks menundukkan musuh tanpa penggunaan kekerasan senjata (uang sebagai faktor utama) bisa berlaku jika pola dan strategi pemenangan diubah secara transformatif.

Continue Reading

Gorontalo

Kalapas Kelas IIb Pohuwato Tingkatkan Sinergi Melalui Kunjungan Forkopimda

Published

on

POHUWATO – Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Kelas IIb Pohuwato, Tristiantoro Adi Wibowo, bersama Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP), Franki Gunawan Ma’ruf, melakukan kunjungan ke beberapa instansi Forkopimda di Kabupaten Pohuwato, di antaranya Kejaksaan Negeri Pohuwato, Pengadilan Negeri Pohuwato, dan Kodim 1313 Pohuwato.

Dalam pertemuan ini, Bowo yang baru menjabat sebagai Kalapas Pohuwato menjelaskan bahwa silaturahmi ini bertujuan untuk mempererat hubungan kerja antarinstansi dan membangun koordinasi yang lebih baik dalam menjalankan tugas. Ia juga memanfaatkan kesempatan ini untuk memperkenalkan diri kepada para pemangku kepentingan di Pohuwato.

“Tujuan dari pertemuan ini adalah meningkatkan sinergi dan komunikasi antarinstansi guna menjaga stabilitas keamanan, khususnya di lingkungan Lapas Pohuwato,” ujar Bowo.

Ia menambahkan, kerja sama antarinstansi sangat penting dalam menjalankan tugas sebagai aparat penegak hukum, sekaligus mengurangi potensi miskomunikasi yang bisa menimbulkan gangguan dalam menjalankan tugas.

Bowo menekankan bahwa kunjungan ini juga merupakan bentuk komitmen Lapas Pohuwato dalam deteksi dini untuk mencegah potensi gangguan keamanan dan menjaga ketertiban di dalam Lapas. Salah satu poin penting yang dibahas adalah pentingnya pengawasan terhadap aktivitas yang mencurigakan yang bisa mempengaruhi keamanan.

“Kolaborasi dan sinergi antara instansi sangat penting untuk menciptakan lingkungan Lapas yang aman dan kondusif,” tutupnya.

Continue Reading

Gorontalo

Aktivitas PETI di Desa Balayo Mulai Terusik: Pelaku Usaha Mengungkapkan Keluhan Soal Penghentian Operasional

Published

on

POHUWATO – Pelaku usaha pertambangan emas tanpa izin (PETI) di Desa Balayo, Kecamatan Patilanggio, mulai merasakan tekanan dari pihak-pihak tertentu yang memberhentikan aktivitas mereka. Hal ini terungkap dari pengakuan salah satu pelaku usaha di desa tersebut, yang dikenal dengan inisial UW, dalam perbincangan dengan awak media pada Selasa (03/09/2024).

Menurut UW, keluhan ini juga dirasakan oleh rekan-rekannya sesama pelaku usaha yang tergabung dalam kelompoknya. Mereka merasa terganggu karena ada pihak yang menghentikan operasi mereka di lokasi tersebut.

“Kita ini hanya membantu kalian. Kalau yang menghentikan aktivitas itu berniat membantu, silakan. Saya akan menarik alat saya dari lokasi tersebut,” ungkap UW, yang berperan sebagai koordinator di lokasi, kepada rekan-rekannya yang merasa terganggu.

UW menjelaskan bahwa alasan pihak tersebut menghentikan aktivitas adalah karena para pelaku usaha tidak melakukan koordinasi dengan mereka. Ia menyampaikan kepada para pelaku usaha yang mengeluh, “Jika kalian berkoordinasi dengan yang bersangkutan, apakah itu mungkin diizinkan?”

Ketika ditanya apakah peralatan dari kelompok lain juga diminta untuk berhenti oleh pihak yang menghentikan aktivitas, UW mengaku tidak mengetahui hal tersebut. Namun, ia menyebutkan bahwa ada seorang warga sipil dari Taluduyunu yang diduga mengumpulkan dan menerima “atensi” terkait aktivitas tersebut.

Awak media berencana untuk terus menggali informasi lebih dalam mengenai oknum yang menghentikan aktivitas PETI di Desa Balayo serta menelusuri peran warga sipil yang disebut-sebut oleh UW dalam wawancara tersebut.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler