Connect with us

Ruang Literasi

Menjamu Hidangan-Nya

Published

on

Oleh : Mohamad Makmun Rasyid – Penulis

Bulan puasa kembali hadir menyeruak di tengah badai pandemik. Ujian dalam berpuasa pun semakin bertambah. Dinyatakan dalam hadis qudsi, “siapa yang tidak bersabar atas bala-Ku, tidak bersyukur atas nikmat-Ku dan tidak ridha atas keputusan-Ku, hendaknya dia keluar dari bawah langit-Ku dan carilah Tuhan selain Aku!”. Apakah Allah marah kepada mereka yang tidak menerima keadaan? Tidak.

Setelah sebelas bulan lamanya kita bergemilang dosa; badan telah tertaburi makan-makanan “syubhat” bahkan haram; mata memandang hal-hal yang mengundang murka-Nya; telinga mendengarkan bunyian yang berbau maksiat; tangan dipergunakan untuk menindas, memeras, memukul dan menyebarkan berita bohong, kini tiba ‘hidangan Allah’ yang tidak semua manusia menggumulinya. Marahkah Allah pada kita?

Begitu sayang dan kasihnya Dia kepada kita, meski berjuta noda menumpuk dan serangkaian pengkhianatan pada-Nya, dan janji antara ruh (kita) dengan-Nya diingkari dan dilanggar secara berkali-kali, tapi Allah tidak bosa menyapa dan menyayangi kita. Terkhusus sapaannya dengan puasa Ramadan.

Lagi, begitu kasihnya Dia. Dia menaburkan kenikmatan setiap saat tapi setiap hari pula malaikat mengantarkan catatan buruk pada-Nya. Marahkah Dia? Tidak. Segudang perbuatan maksiat kita lakukan tiada henti, tapi ampunan Allah pun tidak henti. Ia terus mengucurkan kepada manusia, walau manusia tidak menyadari. Beruntunglah kita semua, sebab masih diberikan kenikmatan untuk mencicipi dan menikmati ‘hidangan-Nya’ tahun ini.

Dalam buku saya, “Ramadan (Dari Kesalihan Pribadi Menuju Kesalihan Sosial)” tertulis bahwa puasa ini ibarat ‘sepotong surga’ yang dihadiahi-Nya pada kita. Tujuannya? Membasuh diri dan membersihkan jiwa dari daki-daki. Ibarat hidangan (yang) termahal, puasa ini hidangan dari-Nya yang diantar oleh bidadari-bidadari tercantik milik-Nya. Ambillah hidangan termahal ini dan jangan sia-siakan.

Saat masuk dan menikmati hidangan-Nya, Tuhan pun menyediakan sebuah cermin. Fungsinya, kita membersihkan karat yang melekat di permukaan cermin. Ketika cerminan bersih, Anda bisa melihat jelas dosa-dosa, kekurangan dan sifat alpa. Cermin itu, menurut KH. Hasyim Muzadi, bagaikan sepotong kolam yang berair tenang hingga kita dapat melihat diri kita sejelas-jelasnya. Hapuslah secara perlahan-lahan dan bangunlah ketulusan serta mendekat pada-Nya.

Dalam melihat ke cermin, Imam Ali bertutur, jika perangaimu indah dan bagus, anggaplah buruk karena telah engkau coreng oleh perbuatan buruk; dan jika buruk, anggaplah buruk karena memang engkau menggabungkan kedua keburukan; buruk rupa dan amal. Disini kita mengambil pelajaran, kelemahan manusia atas-Nya jangan sampai membangga-banggakan kelebihan. Saat kelebihan itu dimunculkan, secara tak sadar Allah menutup keburukan yang telah diperbuat.

Dalam proses mendekat pada-Nya, maka kewajiban utama Muslim adalah membangun ketulusan sebagai buah tangan yang engkau jinjing untuk-Nya tanpa mengharapkan imbalan atau oleh-oleh dari-Nya. Dan perlu diingat! Sisihkan jenis-jenis yang berat dalam pendakian ke dalam. Sebab, Tuhan “lebih dekat kepada manusia ketimbang urat lehernya sendiri” (Qs. Qâf [50]: 16). Maka perjalanan menuju-Nya sendiri harus dibayangkan dengan mudah, ringan dan menyenangkan. Sampai tahap bahwa perintah-Nya adalah kebutuhan bukan pelepas seremonial belaka.

Cukuplah bagi siapa pun untuk menanam dan merawat dengan tekun keyakinan bahwa Dia amat dekat dengan siapa pun. Peralihan dari keterpaksaan menuju-Nya akan menjadi kenikmatan dan kesyahduan. Adalah kisah seorang salih dari Qazwin kala mengajar kepada santri-santrinya, ia mewejangkan “ketuklah pintu terus menerus, pada akhirnya pintu akan terbuka”. Mendengar ucapan ini, Rabi’ah Al-Adawiyah—sufi perempuan—menukas, “Hei! Kapankah pintu itu pernah ditutup-Nya?”

Pintu itu terus dibuka-Nya, sadar atau tidak. Dan puasa salah satunya. Maka pembagian dalam Ramadan berupa rahmat, ampunan dan keterlepasan dari siksaan haruslah ditempuh dengan penuh kenyamanan. Ibarat bertamu ke kediaman seseorang, maka puasa pun seperti kita berkunjung ke “kediaman”-Nya. Adapun tamu yang baik, bukanlah mengharapkan apa yang diberikan oleh tuan rumah, sedari awal keberangkatannya. Tapi menyajikan yang terbaik bagi tuan rumah yang dikunjunginya.

Maksudnya, kita persembahkan amal terbaik kita pada-Nya dan serahkanlah pada-Nya. Karena kita menghadap-Nya tidak sedang membawa proposal seperti kepada atasan kantor; yang bisa ditawar dan dilobi. Kita harus mengosongkan diri dari ragam pengharapan sambil berbuat yang terbaik pada-Nya. Pasca pembangunan ketulusan dan kenosis (pengosongan diri) dari kekeyangan dan kejumudan, maka berikanlah ruang demi masuk dan meresapnya cahaya dalam hati. Pada posisi inilah, horison penglihatan meluas. Dari semula yang tampak hanya pernik-pernik eksistensi, pasca masuknya cahaya akan tampak eksistensi kosmik yang tak terhingga.

Upaya kenosis ini merupakan pangkal pemulihan adi-krisis yang menimpa kita. Menyeruaknya basis spiritual di sana-sini. Sebab itu, Tuhan menyajikan pada kita, cukup sebulan di antara sebelas bulan dalam setiap tahun. Sebulan sungguh cukup lagi berat; menarik diri dari rutinitas duniawi demi memulihkan realitas dunia, dan memulihkan keadaan yang tidak subur akan kasih sayang, perdamaian dan kelemah lembutan.

Tidakkah engkau menyaksikan, betapa indah dan menakjubkan pohon yang dibonsai? Ada satu hal yang membuatnya sampai tampak indah dipandang: ia bersedia diatur, dirawat dan dibentuk dari hari ke hari oleh pemiliknya. Dan puasa inilah, cara Tuhan merawat diri dan jiwa kita agar kelak setelah keluar dari perawatan ini, kita kembali ke fitri (suci). Maka, pengosongan diri dalam rangka menunjukkan kesediaan untuk diubah dan dibentuk oleh-Nya.

Gorontalo

Gebrakan Baru: PeHa Washpresso Luncurkan Program dan Salurkan Peha Peduli

Published

on

Gorontalo – PeHa Washpresso menandai satu tahun eksistensinya di tengah masyarakat Gorontalo melalui acara penuh makna sosial pada Rabu (05/11/2025). Pada momen istimewa ini, PeHa Washpresso secara resmi meluncurkan program “Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum” serta menyerahkan bantuan PeHa Peduli kepada dua mahasiswa perantau yang membutuhkan.

Acara berlangsung dengan nuansa hangat dan kebersamaan. Pemilik PeHa menegaskan, sejak awal kehadirannya, PeHa Washpresso bukan sekadar tempat menikmati kopi, melainkan menjadi ruang pertemuan, diskusi, berkembang, serta saling menguatkan komunitas.

“PeHa lahir bukan hanya sebagai tempat ngopi. PeHa hadir sebagai ruang temu, ruang tumbuh, dan wadah saling menguatkan,” jelas Yakop Mahmud, S.H., M.H., pendiri Pojok Literasi Hukum PeHa.

Melalui program PeHa Peduli, PeHa memberikan bantuan sebesar Rp 1.000.000 kepada dua mahasiswa perantau. Bantuan ini diharapkan dapat membantu keperluan sehari-hari penerima.

“Angka bantuan mungkin sederhana, namun kami ingin menegaskan bahwa setiap kebaikan, sekecil apapun, sangat berarti. Semoga ini menjadi pengingat bahwa kebersamaan bukan hanya berbagi cerita dan meja, tetapi juga kepedulian,” tambah Yakop.

Penerima manfaat menyampaikan apresiasinya. “Terima kasih kepada Owners PeHa atas kepeduliannya terhadap kehidupan mahasiswa rantau di Gorontalo. Bantuan ini sangat membantu kami,” ujar salah satu penerima.

Pada kesempatan yang sama, PeHa memperkenalkan program “Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum”, yakni diskusi hukum mingguan yang membahas isu-isu aktual di Gorontalo. Program ini terlaksana atas kerja sama Pojok Literasi Hukum PeHa dan Senat Mahasiswa Fakultas Hukum.

Ketua Senat FH UNG, Sandi Idris, turut mengapresiasi langkah PeHa Washpresso. “Kami berharap program ini dapat terus berjalan, mencerahkan masyarakat Gorontalo dan membawa dampak positif terhadap literasi hukum di daerah,” paparnya.

Melalui komitmen kebersamaan dan kepedulian, PeHa Washpresso menegaskan posisinya sebagai ruang komunitas dan wadah aktivitas bermakna untuk masyarakat Gorontalo.

Continue Reading

Gorontalo

PeHa Washpresso Hadirkan Gerakan Baru: Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum

Published

on

Gorontalo – Pojok Literasi Hukum PeHa Washpresso bekerja sama dengan Senat Mahasiswa Fakultas Hukum meluncurkan program diskusi hukum mingguan bertajuk “Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum”. Kegiatan perdana digelar pada Rabu, 5 November 2025, pukul 15.30 WITA di PeHa Washpresso.

Diskusi perdana ini mengangkat tema “Pencemaran Nama Baik dan Media Sosial: Batasan antara Kritik dan Pencemaran Nama Baik (UU ITE, KUHP, dan Bukti Digital)”, dengan narasumber Faizal Akbar Ilato, S.H., Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo. Acara dipandu oleh Andi Aulia Arifuddin, S.H., M.H., Founder Gopos.id sekaligus pemerhati isu komunikasi publik.

Kegiatan ini dihadiri oleh mahasiswa Fakultas Hukum, praktisi muda, pegiat literasi digital, serta masyarakat umum yang antusias membahas batasan kritik dalam ruang digital dan konsekuensi hukumnya.

Dalam paparannya, Faizal Akbar Ilato menegaskan bahwa batas antara kritik dan pencemaran nama baik bergantung pada unsur niat, konten, dan konteks pernyataan. Ia menjelaskan bahwa Pasal 310 dan 311 KUHP serta ketentuan dalam UU ITE secara tegas mengatur konsekuensi hukum terhadap pernyataan yang dapat merusak kehormatan seseorang, baik secara langsung maupun melalui media sosial.

“Media sosial adalah ruang publik. Kritik diperbolehkan, tetapi harus disampaikan secara beretika, sesuai kaidah hukum, dan tidak mengarah pada penghinaan atau serangan pribadi,” ujarnya.

Diskusi berlangsung interaktif ketika peserta menanyakan contoh-contoh kasus nyata, baik di tingkat lokal maupun nasional, termasuk bagaimana bukti digital seperti tangkapan layar, rekaman, dan riwayat percakapan digunakan dalam pembuktian pidana.

Di akhir kegiatan, forum menyimpulkan pentingnya kehati-hatian pengguna media sosial dalam menyampaikan pendapat yang menyangkut nama baik dan martabat orang lain. Peserta sepakat bahwa kritik yang baik adalah yang mengedepankan substansi masalah tanpa menyerang pribadi.

Pendiri Pojok Literasi Hukum PeHa, Yakop Mahmud, S.H., M.H., menyampaikan bahwa kegiatan ini diharapkan menjadi wadah masyarakat Gorontalo untuk membahas isu-isu hukum kontemporer secara santai namun tetap substansial.

“Melalui ruang diskusi ini, kami ingin menghadirkan edukasi hukum yang mudah dipahami, membumi, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Harapannya, kegiatan seperti ini dapat menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat Gorontalo,” ungkapnya.

Program “Ngopi, Ngobrol, Ngerti Hukum” akan diselenggarakan setiap minggu di PeHa Washpresso dengan tema-tema aktual yang dekat dengan kehidupan masyarakat.

Continue Reading

Gorontalo

Menakar Fungsi Kontrol di DPRD Kota Gorontalo

Published

on

Oleh : Zulfikar M Tahuru

Kita tentu tidak sedang ingin menuduh DPRD Kota Gorontalo periode sekarang lemah dalam fungsi kontrol. Tuduhan seperti itu membutuhkan riset yang serius dan alat ukur yang tepat—berapa kali rapat pengawasan digelar, seberapa banyak rekomendasi ditindaklanjuti, dan sejauh mana kritik DPRD berpengaruh terhadap kebijakan publik.

Namun kalau melihat “apa yang tampak di mata publik”, sulit untuk tidak mengatakan bahwa DPRD periode ini terlihat pasif, bahkan redup. Tidak ada dinamika politik yang hidup, tidak ada perdebatan yang tajam antara wakil rakyat dan pemerintah kota. Yang muncul justru kesan bahwa semua sejalan, semua setuju, semua aman. Padahal, dalam demokrasi, kesepakatan tanpa perdebatan sering kali pertanda bahwa fungsi kontrol sedang padam.

Memang, sepanjang satu tahun masa kepemimpinan Wali Kota Adhan Dambea (Februari–Oktober 2025), ada beberapa catatan resmi dari DPRD yang menunjukkan fungsi kontrol masih berjalan, meski tidak konsisten dan cenderung bersifat sektoral.

Berikut rangkuman sikap dan pernyataan resmi DPRD Kota Gorontalo yang terekam publik:

  • 12 Juni 2025 — Banggar menyoroti ketidakhadiran TAPD dalam rapat KUPA-PPAS dan mempertanyakan penurunan anggaran Rp17 miliar.
  • 5 Mei 2025 — Komisi III mengkritisi Dinas PUPR terkait jalan rusak di Kota Utara.
  • 29 Juli 2025 — Fraksi Gerindra menyampaikan kritik dalam pandangan fraksi atas LKPJ APBD 2024.
  • 29 Juli 2025 — DPRD membentuk Pansus RPJMD 2025–2030, di mana Ketua DPRD menegaskan perlunya kritik atas kebijakan tak pro-rakyat.
  • 16 September 2025 — Komisi II mendesak penegakan pajak restoran, hotel, sewa alat berat, dan parkir di mal.
  • 6 Oktober 2025 — Ketua DPRD mengingatkan Pemkot soal dampak pemotongan TKD Rp127 miliar.
  • 8 Oktober 2025 — Fraksi PDIP menyoroti penataan parkir agar berkeadilan dan tertib.
  • 21 Oktober 2025 — Komisi II membahas dugaan pengusiran Satgas PAD dan lemahnya penagihan PBB.
  • 27–28 Oktober 2025 — Komisi III mendesak penataan kabel dan tiang telekomunikasi yang semrawut.

Beberapa langkah di atas menunjukkan DPRD masih melakukan fungsi pengawasan, namun mayoritas bersifat administratif dan tidak menimbulkan dampak politik yang nyata. Tidak ada perdebatan terbuka di ruang publik, tidak ada sikap tegas terhadap kebijakan yang dinilai membingungkan rakyat, seperti penutupan jalan dan pelarangan UMKM berjualan di trotoar.

Padahal isu UMKM di trotoar itu kini menjadi perdebatan paling hangat di kota ini. Publik terbelah: sebagian menganggap trotoar perlu ditertibkan, tapi tidak sedikit pula yang mendukung walikota karena mendukung usaha rakyat kecil yang sedang berjuang bertahan hidup.
Di tengah hiruk-pikuk opini masyarakat itu, DPRD seolah menghilang dari panggung perdebatan publik. Tak ada dengar pendapat, tak ada pertemuan resmi, tak ada suara politik yang menyejukkan.

Lalu publik pun bertanya, apakah mereka tidak peduli, atau takut melawan Wali Kota?

Pertanyaan ini mungkin tidak nyaman, tapi wajar dilontarkan ketika lembaga legislatif kehilangan keberanian untuk berdiri di antara rakyat dan kekuasaan. Fungsi kontrol tidak harus berarti melawan pemerintah, tapi diam ketika rakyat gelisah adalah bentuk kegagalan moral.

DPRD seharusnya hadir — bukan hanya di kursi paripurna, tapi di tengah denyut persoalan warga. Karena rakyat tidak butuh DPRD yang sekadar hanya duduk, mereka butuh DPRD yang berdiri dan bersuara.
Dan dari semua yang bisa kita nilai hari ini, mungkin bukan kekurangan data yang membuat DPRD tampak lemah — tapi kekurangan nyali.

Dalam sistem pemerintahan daerah, DPRD adalah penjaga keseimbangan antara kekuasaan dan kepentingan rakyat. Ketika suara dewan hilang dalam isu-isu yang menyentuh kehidupan masyarakat kecil—seperti nasib pedagang UMKm di trotoar atau kebijakan yang menekan ekonomi rakyat—maka yang hilang bukan hanya fungsi kontrol, tapi juga rasa percaya publik kepada wakilnya.
Dan di titik itulah, demokrasi di tingkat lokal mulai kehilangan makna.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler