Connect with us

Ruang Literasi

Energi Perdis, Energi Mendidik Diri Sendiri

Published

on

Oleh : Susanto Polamolo / Pengetua Sabua Buku

Hampir setahun sesudah Thariq Modanggu, Wakil Bupati Gorontalo Utara, dilantik, sekitar tahun 2019 akhir kami berjumpa di Yogyakarta. Seperti biasa, itu perjalanan luar dinas, mengunjungi anak-anaknya yang tengah studi di Jogja. Dia sengaja mengundang saya untuk datang dari Banyumas hanya untuk berdiskusi. Dalam hati saya membatin, “ah, ini pasti akan berdiskusi soal politik.”

Dugaan saya keliru. Itu adalah pertemuan yang padat membicarakan pelbagai topik pemikiran teoritik para filsuf. Performa sebagai akademikus sepertinya masih tampak dari sorot matanya yang berbinar ketika menderet nama-nama filsuf dan buku-buku baru yang dibelinya.

Tak lama sesudah pertemuan itu, sesekali saya masih mengganggunya dengan satu dua hal tentang bagaimana ia akan merawat intelektualitasnya selain memborong buku-buku yang saya jual di toko buku saya. Sekali-dua-kali ia masih merespon. Lalu saya mulai menyoroti status-status Facebook-nya yang mulai singkat dan tampak datar saja. Tak ada gugatan-gugatan seperti ketika ia masih seorang dosen di IAIN Gorontalo.

Suatu ketika, saya menantangnya untuk menulis secara rutin. Menuliskan apa saja kegelisahannya. Tulisan ringkas tapi rutin. Thariq menyanggupi. Sekali-dua-kali tulisannya masih muncul di status Facebook, lama-lama mulai hilang dan jarang—kecuali cerita-cerita singkat tentang aktifitasnya. Habislah sudah, batin saya.

Ternyata saya keliru untuk sekali lagi. Di pertengahan tahun 2020, Thariq mengirimi saya email. Ia melampirkan sebuah naskah di sana. Saya buka. Ternyata itu naskah buku, kumpulan tulisan-tulisan perjalanan dinasnya. Tulisan-tulisan ringkas, reflektif. Sebuah pesan Whatsapp darinya kemudian menyusul. Ia meminta saya membaca naskah itu, dengan rendah hati ia meminta saya memeriksa naskahnya apakah layak buat diterbitkan, terutama dengan standar Sabua Buku—penerbitan yang saya Kelola.

Hampir sebulan naskah itu saya bolak-balik. Hanya salah-salah ketik saja yang saya temukan. Mungkin ditulis dengan buru-buru ketika ide-ide berdatangan di tengah ia sedang dalam perjalanan dinas, entah di mobil, pesawat, atau sedang break pertemuan formal.

Thariq masih menulis dengan baik. Alurnya masih lumayan rapi. Bahasanya, ini harus saya akui, berhasil melepaskan diri dari perangkap formalitas. Gagasan dibingkai dengan otokritik ke dalam dirinya sebagai pejabat. Ide tak membebani gaya, dan gaya juga tak membebani ide. Thariq masih piawai berselancar di atas ide dan kata-kata. Melenting-lenting dari satu realitas ke realitas lainnya.

Saya bilang ke Thariq, naskahnya tidak saya sentuh selain memperbaiki kesalahan-kesalahan ketikan. Biarkan naskah itu menghadapi pembacanya dengan apa adanya. Naskah itu punya cerita, dan cerita-cerita itu harus sampai kepada para pembaca tanpa dikurangi ataupun ditambahi.

Maka inilah buku Thariq Modanggu itu. Segenggaman tangan ukurannya. Tebalnya sekitar 248 halaman. Berisi 22 tulisan. Macam-macam. Ia bicara tentang algoritma rasa sampai teologi maritim. Ia bercerita tentang masjid yang “menyesatkan” hingga turbulensi. Itu cukup membuat penasaran, bukan? Thariq memang tidak menulis kajian formal. Ia malah seperti bercerita saja. Asik, santai, tegang, kritis. Ia bercerita tentang tukang kebun Rumah Dinas, tentang ajudannya, tentang orang-orang yang ia temui ketika melakukan perjalanan dinas. Ia menyebut Shakespeare sampai Arisyo Santos, sedikit tentang Pasha Ungu, Plato, Eric Fromm, Fritjof Capra, sampai sejarawan dunia yang lagi naik daun, Yufal Noah Harari. Itu memperlihatkan bahwa Thariq tak hanya pembeli buku yang rakus tetapi ia juga pembaca yang telaten.

Hari gini pejabat masih membaca? Saya tak tahu bagaimana ia mencuri waktu untuk itu.

Ketika Thariq meminta saya untuk memberi pengantar dalam bukunya, saya langsung menolak. Bukan karena tak bisa menulis pengantar, tapi saya merasa kurang pantas. Bagaimana saya bisa merasa pantas disandingkan dengan Alim Niode yang menulis Prolog dan Muhammad Sabri yang menulis epilog. Buku ini juga di-endorse oleh Rocky Gerung, si filsuf sengak itu. Juga turut sejumlah kolega penting seperti Bupati Gorontalo Utara sendiri, Indra Yasin, ada karib seperjuangannya, Elnino M. Husein Mohi, kemudian Prof. Rokhmin Dahuri dan Prof. Winarni Dien Monoarfa—meski akhirnya saya menulis pengantar di sana dengan segala rasa sungkan.

Sebelum menulis ini saya pergi bertanya kepada Funco Tanipu, sosiolog cemerlang dari Universitas Negeri Gorontalo, untuk memastikan satu hal: apakah ada tradisi para pemimpin (eksekutif) Gorontalo dalam 10-15 tahun terakhir yang menulis bukunya sendiri?

Funco bilang, sepanjang pengetahuannya hampir tak ada. Kebanyakan dari mereka ditulis oleh orang lain dalam bentuk biografi. Ada yang pernah menulis buku sendiri, mendiang Medi Botutihe (2003)—pemimpin yang menaruh perhatian serius atas adat dan kebudayaan Gorontalo. Selain Medi Botutihe di eksekutif, di legislatif ada Elnino M. Husein Mohi. Belum lama ini saya dan Elnino menulis buku bersama (2019).

Maka Thariq Modanggu meneruskan preseden baik sebagai pemimpin eksekutif. Ia akan diingat sejarah. Pemimpin harus menulis. Tak harus yang serius-serius. Buku Perdis Thariq ini contohnya. Ringan dan enak dibaca. Buku ini tak hanya berisi laporan, tetapi juga semacam refleksi intusi-batin seorang akademisi, seorang pengajar. Tapi bukan untuk mengajari orang-orang yang saya tangkap dari buku ini, melainkan mengajari diri sendiri, mendidik diri sendiri. Dengan kata lain, Thariq Modanggu menulis untuk mengajari dan terus mendidik diri sendiri. Di hadapan semua itu saya merasa sekuku hitam.

Et ipsa scientia potestas est!

Ruang Literasi

“BUMI” Mengajak Publik Mendengar Bumi Berbicara Lewat Seni

Published

on

Gelaran seni bertajuk BUMI: Integralitas Tubuh–Rasa resmi dibuka di Galeri Dewan Kesenian Surabaya (DKS) pada malam 1 Desember 2025. Pameran ini langsung menarik minat publik karena menyoroti isu ekologi melalui pendekatan lintas disiplin seni. Pameran berlangsung selama satu pekan, 1–7 Desember 2025, dengan menghadirkan puluhan seniman dari berbagai kota.

Pembukaan dilakukan oleh Syaiful Mudjib, seniman dan tokoh Surabaya. Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa pameran ini menjadi ruang penting untuk membaca kondisi bumi melalui bahasa seni. Menurutnya, karya-karya yang ditampilkan menawarkan cara baru memahami kerusakan ekologi tanpa terkesan menggurui.

Pameran BUMI menampilkan lebih dari 35 karya, dari berbagai seniman antara lain Uret Pariono, Caulis Itong, Radillah, Hananta, Merlyna AP, Adhik Kristiantoro, Risdianto, hicak, Lanjar Jiwo, EFKA Mizan, S.E. Dewantoro (Gepeng), Imam Rastanegara, Bang Toyib, Hendra Cobain, Agus Cavalera, Ibob Susu, Robi Meliala, Dani Croot, Afif, Helmy Hazka, Suki, Rinto Agung, Susilo Tomo, Dwest, Biely, Bayu Kabol, Anggoro, Mie Gemes, Gopel, Rusdam, Miki, Boy Tatto, Arsdewo, Heri Purnomo, Syalabia Yasah, Hallo Tarzan, Rinto Agung. Selain itu, beberapa komunitas turut ambil bagian, seperti BAKAR (Batalyon Kerja Rupa) SeBUMI, Family Merdeka, INJAK TANAH, MOM, BOMBTRACK, ATOZ.

Dukungan penuh hadir dari Dewan Kesenian Surabaya, Dewan Kesenian Jawa Timur, Slamet Gaprax, Irma, Paksi, AKA Umam, komunitas pengamen Bungurasi A minor, Pokemon, Mak Yati (teater Api), Hose Of P studio, Pena Hitam, Kopi Sontoloyo & Sontoloyo Gubeng Surabaya, Organized Chaos Sound, Art Cukil Tshirt, serta makhluk tak terlihat di balik karya.

Karya-karya tersebut mengisi galeri dengan instalasi, lukisan, teks, arsip suara, puisi, hingga performa yang bergerak di antara isu tubuh, tanah, dan perubahan ekologis. Konsep pameran dirumuskan oleh Hari Prajitno, M.Sn., yang menempatkan tanah sebagai medium utama eksistensi manusia. Ia menjelaskan bahwa seluruh karya berangkat dari gagasan bahwa tubuh manusia dan bumi memiliki keterhubungan material. “Tubuh dan tanah bukan dua hal yang terpisah. Kita berasal dari tanah, dan suatu hari akan kembali ke tanah,” tegasnya.

Salah satu fokus yang dinikmati pengunjung adalah instalasi visual yang menampilkan citra tanah retak, tekstur bumi yang rusak, serta bunyi-bunyian yang memotret suasana ekologis terkini. Karya-karya tersebut menciptakan atmosfer yang membuat pengunjung merasakan kondisi bumi secara langsung, bukan sekadar membaca data atau kampanye. Selain itu, terdapat kegiatan seperti penanaman pohon di hutan kota, workshop cukil dan batik di Gang Dolly, serta diskusi seni.

Selain pameran karya, acara ini juga menayangkan film dokumenter garapan Daniel Rudi Haryanto. Film tersebut menampilkan potret kerusakan lingkungan di berbagai daerah tanpa narasi berlebihan, namun cukup kuat membangun kesadaran penonton tentang kondisi yang sedang berlangsung. Tepuk tangan panjang mengiringi pemutaran film perdana malam itu.

Pada hari sama, panggung performance di galeri diisi oleh Pandai Api, Family Merdeka, Bombtrack, Magixridim, Arul Lamandau, dan pembawa berkah Aulia. Mereka tampil dengan gaya khas masing-masing dan membawa energi yang memperkuat pesan pameran: manusia dan bumi tidak terpisah; krisis ekologi adalah krisis tubuh itu sendiri.

Pameran dipandu oleh Deni Indrayanti dan Caulis Itong. Pameran ini tidak menampilkan poster ajakan menyelamatkan lingkungan atau slogan klise. Pesan ekologis disampaikan melalui pengalaman inderawi: suara gesekan, cahaya redup, tubuh performer, aroma material bumi, hingga keheningan yang sengaja dihadirkan. Pendekatan inilah yang membuat BUMI tampil berbeda dibanding pameran bertema lingkungan pada umumnya.

Pengunjung pembukaan tampak menikmati rangkaian karya sambil berdiskusi santai di area galeri. Beberapa mengaku memperoleh pengalaman baru dalam melihat isu lingkungan. “Rasanya seperti diajak melihat bumi dari dalam tubuh sendiri,” ujar seorang pengunjung.

Pameran BUMI: Integralitas Tubuh–Rasa masih berlangsung hingga 7 Desember di Galeri DKS, Jl. Gubernur Suryo No.15, Embong Kaliasin, Surabaya. Panitia memastikan pameran tetap dibuka setiap hari hingga penutupan. Acara ini menjadi salah satu agenda seni paling reflektif di akhir tahun, dan menekankan pesan tegas bahwa bumi sedang berbicara—tinggal bagaimana manusia mendengarnya.

Continue Reading

Ruang Literasi

Media Sosial dan Rasa Tidak Cukup

Published

on

Penulis : M.Z. Aserval Hinta

Di jaman ini, tiap orang seolah hidup di dua dunia sekaligus. Di satu sisi, kita punya kehidupan nyata dengan segala rutinitas yang kadang membosankan. Tapi di sisi lain, ada dunia digital yang selalu hidup—selalu ada hal baru yang muncul setiap kita buka layar. Kadang kita hanya ingin lihat sebentar, tapi tiba-tiba sudah habis waktu berjam-jam tanpa sadar. Scroll sedikit jadi scroll panjang, cuma mau cek notifikasi malah berakhir di video acak yang entah kenapa terasa menarik.

Buat Generasi Z seperti saya, media sosial itu semacam panggung kecil. Tempat menunjukkan versi terbaik dari diri sendiri—foto yang sudah diedit sedikit, caption yang dipikirkan matang, atau story yang sengaja dipost biar terlihat “oke”. Kita tahu itu hal biasa, tapi tetap aja kadang muncul perasaan aneh, seperti kita harus selalu terlihat baik-baik saja. Padahal, di balik layar, hidup ya nggak selalu semulus feed Instagram.

Di sana juga ada semacam dorongan untuk membandingkan diri. Melihat teman yang sudah sukses, jalan-jalan ke mana-mana, punya pasangan harmonis, atau karier yang seakan cepat banget naik. Dan tanpa sadar, kita merasa tertinggal. Padahal yang kita lihat cuma potongan kecil dari hidup orang lain—sekedar highlight, bukan keseluruhan cerita. Tapi media sosial memang pintar membentuk ilusi, sampai-sampai lupa bahwa setiap orang punya ritme masing-masing.

Meski begitu, media sosial juga punya sisi yang bikin kita tetap bertahan. Ada komunitas-komunitas kecil yang bikin kita merasa nggak sendirian. Ada tempat belajar hal baru, dari tips keuangan sampai cara foto biar aesthetic. Ada orang-orang baik yang tanpa sadar menguatkan kita lewat postingan sederhana. Di tengah ramainya dunia maya, kita tetap bisa menemukan hal-hal yang memberi arti.

Akhirnya, media sosial bukan cuma soal tampilan. Ia adalah cermin yang memperlihatkan siapa kita ketika sedang mencari tempat di dunia yang makin cepat berubah. Kita mungkin belum sempurna, masih belajar, masih jatuh bangun. Tapi selama kita tetap ingat bahwa hidup asli lebih penting daripada likes dan views, dunia digital ini bisa jadi ruang yang bukan hanya menghibur, tapi juga membentuk kita jadi pribadi yang lebih sadar dan lebih manusia.

Gen Z

Continue Reading

Gorontalo

Medsos, Ladang Manfaat yang diubah Fungsi

Published

on

Oleh : Sudirman Mile

Sejak facebook bisa menghasilkan uang dg merubah akun biasa menjadi akun profesional, begitu banyak yg jadi tidak profesional dalam menghadirkan konten di setiap postingan mereka.

Dari hak cipta hingga adab dan etika dalam mengkomposisi dan menyebarkan sebuah konten, tidak dipelajari dan diperhatikan oleh orang-orang ini, dan hasilnya, viral secara instan namun gaduh dan membuat polemik di tengah masyarakat.

Beberapa contoh kasus telah sering terjadi, dan yg menyedihkan adalah, para pegiat medsos lain ikut serta di dalam kolom komentar seolah menjadi wasit maupun juri tentang hal yg menjadi pembahasan.

Booming dan menjadi pembicaraan dimana-mana. Setiap orang merasa bangga krn bisa terlibat dalam konten-konten viral tersebut walaupun jauh dari manfaat dan nilai-nilai edukasi.

Di kalangan milenial dan gen z yg awam, ini membentuk opini mereka bahwa, trend polemik dalam bermedsos hari ini adalah sebuah kewajaran hingga membuat mereka menormalisasi keadaan tadi di aktifitas kesehariannya.

Akibatnya, para pegiat media sosial yang tidak memperhatikan isi kontennya secara baik tadi, menciptakan musuh dan lawan di kehidupan nyatanya, bahkan saling melaporkan satu sama lain akibat tindakan yg tidak menyenangkan dari sesama pegiat medsos lainnya.

Olehnya, dalam menjadi kreator konten di jaman yg serba cepat segala informasinya, kita butuh belajar dan memahami banyak aspek, agar bermedsos dan monetisasi selaras dg nilai-nilai edukasi yg seharusnya menjadi tujuan dalam bermedia sosial, yakni menyambung tali persaudaraan melalui dunia internet.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler