Ruang Literasi
Energi Perdis, Energi Mendidik Diri Sendiri
Published
4 years agoon

Oleh : Susanto Polamolo / Pengetua Sabua Buku
Hampir setahun sesudah Thariq Modanggu, Wakil Bupati Gorontalo Utara, dilantik, sekitar tahun 2019 akhir kami berjumpa di Yogyakarta. Seperti biasa, itu perjalanan luar dinas, mengunjungi anak-anaknya yang tengah studi di Jogja. Dia sengaja mengundang saya untuk datang dari Banyumas hanya untuk berdiskusi. Dalam hati saya membatin, “ah, ini pasti akan berdiskusi soal politik.”
Dugaan saya keliru. Itu adalah pertemuan yang padat membicarakan pelbagai topik pemikiran teoritik para filsuf. Performa sebagai akademikus sepertinya masih tampak dari sorot matanya yang berbinar ketika menderet nama-nama filsuf dan buku-buku baru yang dibelinya.
Tak lama sesudah pertemuan itu, sesekali saya masih mengganggunya dengan satu dua hal tentang bagaimana ia akan merawat intelektualitasnya selain memborong buku-buku yang saya jual di toko buku saya. Sekali-dua-kali ia masih merespon. Lalu saya mulai menyoroti status-status Facebook-nya yang mulai singkat dan tampak datar saja. Tak ada gugatan-gugatan seperti ketika ia masih seorang dosen di IAIN Gorontalo.
Suatu ketika, saya menantangnya untuk menulis secara rutin. Menuliskan apa saja kegelisahannya. Tulisan ringkas tapi rutin. Thariq menyanggupi. Sekali-dua-kali tulisannya masih muncul di status Facebook, lama-lama mulai hilang dan jarang—kecuali cerita-cerita singkat tentang aktifitasnya. Habislah sudah, batin saya.
Ternyata saya keliru untuk sekali lagi. Di pertengahan tahun 2020, Thariq mengirimi saya email. Ia melampirkan sebuah naskah di sana. Saya buka. Ternyata itu naskah buku, kumpulan tulisan-tulisan perjalanan dinasnya. Tulisan-tulisan ringkas, reflektif. Sebuah pesan Whatsapp darinya kemudian menyusul. Ia meminta saya membaca naskah itu, dengan rendah hati ia meminta saya memeriksa naskahnya apakah layak buat diterbitkan, terutama dengan standar Sabua Buku—penerbitan yang saya Kelola.
Hampir sebulan naskah itu saya bolak-balik. Hanya salah-salah ketik saja yang saya temukan. Mungkin ditulis dengan buru-buru ketika ide-ide berdatangan di tengah ia sedang dalam perjalanan dinas, entah di mobil, pesawat, atau sedang break pertemuan formal.
Thariq masih menulis dengan baik. Alurnya masih lumayan rapi. Bahasanya, ini harus saya akui, berhasil melepaskan diri dari perangkap formalitas. Gagasan dibingkai dengan otokritik ke dalam dirinya sebagai pejabat. Ide tak membebani gaya, dan gaya juga tak membebani ide. Thariq masih piawai berselancar di atas ide dan kata-kata. Melenting-lenting dari satu realitas ke realitas lainnya.
Saya bilang ke Thariq, naskahnya tidak saya sentuh selain memperbaiki kesalahan-kesalahan ketikan. Biarkan naskah itu menghadapi pembacanya dengan apa adanya. Naskah itu punya cerita, dan cerita-cerita itu harus sampai kepada para pembaca tanpa dikurangi ataupun ditambahi.
Maka inilah buku Thariq Modanggu itu. Segenggaman tangan ukurannya. Tebalnya sekitar 248 halaman. Berisi 22 tulisan. Macam-macam. Ia bicara tentang algoritma rasa sampai teologi maritim. Ia bercerita tentang masjid yang “menyesatkan” hingga turbulensi. Itu cukup membuat penasaran, bukan? Thariq memang tidak menulis kajian formal. Ia malah seperti bercerita saja. Asik, santai, tegang, kritis. Ia bercerita tentang tukang kebun Rumah Dinas, tentang ajudannya, tentang orang-orang yang ia temui ketika melakukan perjalanan dinas. Ia menyebut Shakespeare sampai Arisyo Santos, sedikit tentang Pasha Ungu, Plato, Eric Fromm, Fritjof Capra, sampai sejarawan dunia yang lagi naik daun, Yufal Noah Harari. Itu memperlihatkan bahwa Thariq tak hanya pembeli buku yang rakus tetapi ia juga pembaca yang telaten.
Hari gini pejabat masih membaca? Saya tak tahu bagaimana ia mencuri waktu untuk itu.
Ketika Thariq meminta saya untuk memberi pengantar dalam bukunya, saya langsung menolak. Bukan karena tak bisa menulis pengantar, tapi saya merasa kurang pantas. Bagaimana saya bisa merasa pantas disandingkan dengan Alim Niode yang menulis Prolog dan Muhammad Sabri yang menulis epilog. Buku ini juga di-endorse oleh Rocky Gerung, si filsuf sengak itu. Juga turut sejumlah kolega penting seperti Bupati Gorontalo Utara sendiri, Indra Yasin, ada karib seperjuangannya, Elnino M. Husein Mohi, kemudian Prof. Rokhmin Dahuri dan Prof. Winarni Dien Monoarfa—meski akhirnya saya menulis pengantar di sana dengan segala rasa sungkan.
Sebelum menulis ini saya pergi bertanya kepada Funco Tanipu, sosiolog cemerlang dari Universitas Negeri Gorontalo, untuk memastikan satu hal: apakah ada tradisi para pemimpin (eksekutif) Gorontalo dalam 10-15 tahun terakhir yang menulis bukunya sendiri?
Funco bilang, sepanjang pengetahuannya hampir tak ada. Kebanyakan dari mereka ditulis oleh orang lain dalam bentuk biografi. Ada yang pernah menulis buku sendiri, mendiang Medi Botutihe (2003)—pemimpin yang menaruh perhatian serius atas adat dan kebudayaan Gorontalo. Selain Medi Botutihe di eksekutif, di legislatif ada Elnino M. Husein Mohi. Belum lama ini saya dan Elnino menulis buku bersama (2019).
Maka Thariq Modanggu meneruskan preseden baik sebagai pemimpin eksekutif. Ia akan diingat sejarah. Pemimpin harus menulis. Tak harus yang serius-serius. Buku Perdis Thariq ini contohnya. Ringan dan enak dibaca. Buku ini tak hanya berisi laporan, tetapi juga semacam refleksi intusi-batin seorang akademisi, seorang pengajar. Tapi bukan untuk mengajari orang-orang yang saya tangkap dari buku ini, melainkan mengajari diri sendiri, mendidik diri sendiri. Dengan kata lain, Thariq Modanggu menulis untuk mengajari dan terus mendidik diri sendiri. Di hadapan semua itu saya merasa sekuku hitam.
Et ipsa scientia potestas est!
You may like
-
Motabi Kambungu Edisi lll Kembali Digelar
-
Sukses Gelar Motabi Kambungu, Pemkab Gorut Kembali Menggelar di Kecamatan Biau
-
4 Pejabat Eselon ll Resmi Dilantik Bupati Thariq Modanggu
-
Thariq Modanggu Jadi Inspektur Upacara HUT RI di Gentuma Raya
-
Bupati Lantik 14 pejabat eselon III dan IV di lingkungan Dikes Gorut
-
Disiplin Dan Tanggung jawab Diingatkan Bupati Thariq Kepada Seluruh ASN
Gorontalo
Wakil Gubernur Gorontalo Buka Gelar Budaya Nusantara dan Lomba Puisi, Apresiasi FKPT Gorontalo Dorong Generasi Muda Cinta Damai
Published
16 hours agoon
13/08/2025
Gorontalo – Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Gorontalo menggelar Gelar Budaya Nusantara dan Lomba Puisi tingkat SMP dan SMA bertema Sudara (Suara Damai Nusantara) di Gorontalo, Selasa (12/8/2025). Kegiatan ini menjadi wadah bagi generasi muda untuk mengekspresikan pesan damai, toleransi, dan cinta tanah air melalui seni budaya dan karya sastra.
Acara dibuka secara resmi oleh Wakil Gubernur Provinsi Gorontalo, Dra. Hj. Idah Syaidah Rusli Habibie, M.H., setelah sebelumnya diawali dengan pengantar dari Ketua FKPT Gorontalo, Dr. Funco Tanipu, ST., M.A., serta sambutan Direktur Pencegahan BNPT RI, Prof. Dr. Irfan Idris, MA.
Dalam sambutannya, Wakil Gubernur Idah Syaidah mengatakan bahwa terorisme merupakan ancaman yang dapat muncul di berbagai tempat dan tidak memandang usia.
“Saya sangat mengapresiasi kegiatan ini. Ini adalah salah satu upaya pencegahan terorisme melalui sastra dan budaya, dengan melibatkan anak-anak bangsa untuk mencintai kearifan lokal, seni, dan budaya sebagai tameng dari pengaruh radikalisme dan terorisme,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Idah Syaidah memotivasi seluruh peserta lomba untuk terus menumbuhkan semangat nasionalisme demi memperkokoh persatuan bangsa.
Sebelumnya, Ketua FKPT Gorontalo, Dr. Funco Tanipu, menegaskan pentingnya ruang kreatif bagi pelajar untuk menyampaikan pesan damai.
“Puisi dan budaya adalah senjata tanpa kekerasan. Melalui kata-kata dan seni, kita membentuk generasi yang cinta damai, toleran, dan memiliki jiwa kebangsaan,” ujarnya.
Direktur Pencegahan BNPT RI, Prof. Irfan Idris, dalam sambutannya menambahkan bahwa pencegahan terorisme tidak cukup dilakukan melalui penegakan hukum saja.
“Kegiatan seperti ini adalah bentuk nyata pencegahan yang efektif. Kita membangun kesadaran dan ketahanan melalui seni, budaya, dan literasi,” katanya.
Kegiatan ini dihadiri sejumlah stakeholder Goromtalo antara lain AKBP Nugraha Chandra Lintang selaku Kasatgaswil Gorontalo Densus 88 AT Polri, Wakil Kepala Badan Intelijen Daerah Gorontalo Kolonel Ivans Romel, Kabid Kanwil Kemenag Fitri Humokor, perwakilan Polda dan Korem Gorontalo, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), serta para dewan juri yaitu Prof. Sayama Malabar (Guru Besar UNG), Neliana Puspita Sari, M.Psi (Psikolog), dan Dr. I Wayan Sudana (FKUB).
Proses seleksi SUDARA 2025 dilaksanakan secara bertahap dan pada puncaknya menghasilkan 27 pelajar yang terdiri dari 15 peserta SMA dan 12 peserta SMP. Tingkat SMA diwakili MAN 1 Kota Gorontalo, SMA 1 Telaga, SMA 1 Limboto, SMA 3 Gorontalo Utara, dan SMK Gotong Royong Telaga. Tingkat SMP diwakili SMP Kristen Maesa, SMP 1 Lemito, SMP 5 Kota, SMP 7 Kota, SMP 6 Kota, dan SMP 12 Kota.
Suasana acara semakin meriah saat pengumuman para pemenang. Di kategori SMP untuk lomba membaca puisi, Asila Usman dari SMP Negeri 6 Gorontalo tampil sebagai juara pertama dengan pembacaan yang menyentuh hati. Rekan sekolahnya, Rahman Alfarisi Baridu, berhasil meraih posisi kedua dengan penampilan yang penuh penghayatan, sementara posisi ketiga diraih Putri Aisyarani Paputungan dari SMP Negeri 7 Gorontalo yang memukau dewan juri dengan teknik vokal dan ekspresi yang kuat.
Di kategori SMA untuk lomba gelar budaya, Tiara Nur Utari Dai dari SMA Negeri 3 Gorontalo Utara memikat penonton sekaligus juri dan berhak membawa pulang gelar juara pertama. Di belakangnya, Moh. Abd. Virgiyawan Arnold dari SMA Negeri 1 Limboto tampil mengesankan dan menempati posisi kedua, disusul rekan satu sekolahnya, Wahyu Putra Kurniawan, yang meraih juara ketiga dengan penampilan yang tak kalah memukau.
Acara berlangsung penuh semangat dan menjadi bukti bahwa melalui seni dan sastra, generasi muda mampu menyuarakan pesan perdamaian yang tulus dan membangun.
Gorontalo
Negara, Masyarakat, dan Polisi: Relasi Kuasa dalam Bayang-Bayang Ketakutan
Published
3 weeks agoon
24/07/2025
Oleh: Adnan R. Abas
Kader HMI Cabang Gorontalo
Dalam arsitektur sosial modern, negara hadir melalui tiga entitas utama: pemerintah, masyarakat, dan aparat penegak hukum. Di dalamnya, polisi menempati posisi strategis sebagai perpanjangan tangan negara dalam menjaga ketertiban dan menjamin rasa aman. Namun, yang kerap luput disadari: kekuasaan yang tidak diawasi selalu cenderung disalahgunakan. Maka relasi antara negara, masyarakat, dan polisi pun menjadi arena dialektika—antara perlindungan dan penindasan.
Negara seharusnya berdiri sebagai entitas yang menjamin hak-hak warganya, bukan menakuti mereka. Masyarakat adalah subjek, bukan objek kekuasaan. Dan polisi, idealnya, menjadi pelayan publik, bukan alat kekerasan struktural. Namun realitas sering kali menyajikan ironi: aparat yang semestinya melindungi, justru menjadi sumber trauma bagi rakyatnya.
Kekerasan dan intimidasi oleh oknum Polres Pohuwato terhadap salah satu kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Gorontalo menjadi preseden buruk bagi demokrasi lokal. Maka sebagai bentuk respon terhadap lanskap premanisme tersebut, hadirlah aksi protes yang digelar di Polda Gorontalo pada tanggal 24 Juli, tentu sebagai bentuk keberpihakan terhadap korban, sebab ia adalah merupakan bagian dari entitas hidup: manusia. Namun betapa miris dan sedihnya, aksi protes sebagai bentuk solidaritas dan juga ruang kuliah publik—demonstrasi, justru dihadapi dengan tindakan dorongan dan makian oleh oknum aparat kepolisian Polda Gorontalo di sore tadi, tepatnya di gerbang Polda Gorontalo. Ini bukan sekadar pelanggaran etik, tapi juga isyarat adanya krisis moral dan degradasi fungsi kepolisian.
Sejarah mencatat, kekuasaan represif yang dilegalkan atas nama ketertiban, hanya akan melahirkan ketakutan kolektif. Mengutip apa yang disampaikan oleh salah seorang filsuf dari Prancis, yang merupakan sejarawan dan teoriwan sosial, ia menulis dalam bukunya yang berjudul “Discipline and Punish: The Birth of the Prison”, atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai Disiplin dan Hukuman: Kelahiran Penjara—aparat negara (termasuk polisi) membentuk sistem kontrol sosial yang tak hanya bekerja lewat kekuatan fisik, tetapi juga lewat pengawasan dan intimidasi psikologis. Masyarakat diajarkanuntuk patuh, bahkan diintimidasi untuk tetap tunduk; menganguk; seolah mereka memampang bahwa kebenaran datangnya dari mereka, dan tindakan anarkis sering kali mereka maktubkan kepada para pengunjuk rasa. Inilah bentuk modern dari kekuasaan hegemonik.
Kritik terhadap aparat bukanlah bentuk permusuhan terhadap negara. Justru, kritik adalah salah satu upaya merawat prinsip negara: Demokrasi. Seperti yang dikatakan oleh pemikir dari Brasil, yang juga berasal dari kalangan masyarakat kelas bawah dan berhasil dipincak jabatan atas perjuangannya karna mengutamakan pendidikan dan pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan di Brasil—Paulo Freire, ia berkata dalam Pedagogi Kaum Tertindas, bahwa rakyat haruslah sadar untuk menolak pendidikan dan praktik kekuasaan yang menindas. Jika negara, melalui wajah aparat kepolisian anti-kritik terhadap suara dan juga pernyataan publik, maka dengannya, terbentuklah warga negara yang trauma dan penuh dengan ketakutan. Sejatinya, perangkat negara (Polisi), harusnya bisa seperti jargon yang sering dilayangkan dalam ruang-ruang publik: mengayomi.
Maka, ketika Kapolda Gorontalo memilih untuk tidak hadir merespons aksi yang dilakukan oleh HMI Cabang Gorontalo terkait dengan mempertanyakan; mengklarifikasi; memperjuangkan keadilan dan proses penegakan hukum terhadap salah satu entitas makhluk hidup (manusia); sedihnya dia adalah Kader HMI yang menjadi korban akibat kekerasan dan tindakan premanisme; maka jangan heran publik tidak akan percaya lagi atas ketidakhadiran Kapolda Gorontalo, tetapi juga menciptakan pesan tersirat: ketidakpedulian. Negara seakan absen saat warganya menjerit. Negara, seolah tuli atas hukum dan deklarasi Human of Rights. Negara, seakan tidur melanggengkan aktivitas premanisme.
Sejatinya, masyarakat membutuhkan negara yang hadir dengan nurani, bukan hanya dengan otoritas. Internal Kepolisian harusnya melegitimasi dirinya adalah bagian dari satu entitas yang utuh: manusia. Tanpa kacamata (pandangan) itu, legitimasi institusional akan runtuh di mata publik. Sudah saatnya negara dan kepolisian melakukan refleksi: untuk siapa kuasa itu digunakan? Untuk siapa senjata, seragam, dan pangkat itu dibentuk? Jika bukan untuk melindungi rakyat, maka semuanya tak lebih dari simbol kekuasaan kosong.
Membedah Keberadaan Polisi dan HMI: Perspektif Sejarah Perjuangan
Sejarah bangsa Indonesia tidak lahir dalam ruang hampa. Ia tumbuh dari keringat, darah, dan air mata perjuangan berbagai elemen: rakyat, pemuda, intelektual, ulama, hingga aparat bersenjata. Dua entitas yang menarik untuk dibedah secara paralel dari perspektif sejarah perjuangan adalah Polisi Republik Indonesia dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Keduanya lahir di atas semangat yang sama: menjaga keutuhan negara, membela rakyat, dan menciptakan tatanan masyarakat yang berkeadaban. Namun, seiring waktu, jalan sejarah membentangkan posisi yang kadang sejajar, kadang berseberangan.
Polisi Republik Indonesia lahir tak lama setelah proklamasi, tepatnya pada 1 Juli 1946. Artinya, keberadaannya kini sudah 79 tahun setelah proses pembentukannya. Saat itu, peran polisi sangatlah vital dalam menjaga keamanan dalam negeri pasca-kemerdekaan. Polisi bukan sekadar aparat penertiban, tetapi bagian dari struktur pertahanan nasional melawan penjajah dan infiltrasi asing. Polisi berdiri bersama rakyat, bahkan banyak yang gugur dalam pertempuran demi mempertahankan kedaulatan bangsa.
Namun, seiring berubahnya struktur kekuasaan dan berkembangnya birokrasi negara modern, wajah polisi ikut berubah. Dari aparat revolusioner, polisi bertransformasi menjadi alat kekuasaan negara. Dalam rezim Orde Baru, misalnya, kepolisian menjadi bagian dari aparatur penekan terhadap gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil. Kritik terhadap kekuasaan sering dibungkam melalui represifitas. Maka, muncullah jarak antara polisi dan rakyat yang dulu saling menopang dalam perjuangan.
Di samping itu, dalam prespektif sejarah, tepatnya satu tahun setelah kelahiran Polri, tepatnya 5 Februari 1947, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) lahir. Didirikan oleh Kakanda Prof. Lafran Pane bersama 14 mahasiswa lainnya, HMI menyatukan dua misi besar: mempertahankan Republik Indonesia dan memperjuangkan nilai-nilai keislaman.
Dari awal, HMI telah mengambil peran dalam medan perjuangan intelektual, politik, dan sosial. Ia bukan organisasi pasif, melainkan menjadi jembatan antara semangat keislaman dan nasionalisme. Adalah satu hal yang keliru, memandang kader-kader HMI adalah perusak; perusuh; preman atau anarkis. Sejatinya, bahasa tersebutlah keluar dari kuasa dan tubuh Polri itu sendiri. Sebab, seperti yang diterangkan oleh Thomas Khun dalam kerangka Paradigma, bahwa pengetahuan seringkali dilanggengkan oleh kuasa: seolah kader-kader buruk dan salah.
Dalam sejarahnya, HMI konsisten menjadi pengkritik kekuasaan yang otoriter. Di era Orde Lama dan Orde Baru, HMI turut serta dalam perlawanan terhadap berbagai bentuk penyimpangan kekuasaan, termasuk ketika aparat negara bertindak represif terhadap rakyat. HMI juga mencetak kader-kader strategis yang berkiprah dalam pemerintahan, pendidikan, media, dan gerakan masyarakat sipil.
Konflik antara HMI dan aparat kepolisian bukanlah hal baru, dan tidak muncul begitu saja. Ia lahir dari perbedaan peran: polisi sebagai alat negara, HMI sebagai bagian dari masyarakat sipil yang kritis terhadap negara. Dalam sistem demokrasi, gesekan ini seharusnya sehat—selama dilakukan dengan menjunjung hukum dan kemanusiaan.
Namun, insiden kekerasan oleh oknum Polres Pohuwato terhadap kader HMI dan tindakan intimidatif dalam aksi protes di Polda Gorontalo menunjukkan kemunduran dalam relasi negara dan masyarakat. Ketika aparat melampaui batas etik dan hukum, ketika makian dan dorongan menjadi cara merespons kritik, maka itu bukan lagi tugas menjaga keamanan, melainkan bentuk penindasan. Dan sejarah mengajarkan kita: setiap kekuasaan yang menindas, cepat atau lambat, akan ditumbangkan oleh perlawanan moral.
Refleksi Sejarah untuk Masa Depan
Baik polisi maupun HMI lahir dari semangat pengabdian terhadap negara. Namun kesetiaan itu diuji ketika kekuasaan tidak lagi berpihak kepada rakyat. Polisi harus kembali ke khitah-nya: menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, bukan alat kekuasaan yang menakutkan. HMI pun harus terus menjaga semangat kritis, namun tetap menjunjung nilai etik dan intelektualitas perjuangan.
Jika sejarah telah menyatukan keduanya dalam perjuangan kemerdekaan, maka masa depan seharusnya tidak memisahkan mereka dalam relasi kuasa. Yang dibutuhkan adalah restorasi nilai, refleksi institusional, dan penguatan etika publik.
Sebagaimana dikatakan Bung Hatta, “Kekuasaan tanpa moral, hanya akan melahirkan kezaliman.” Dan sebagai kader bangsa, tugas kita adalah memastikan agar perjuangan tidak berubah menjadi penindasan yang dilanggengkan atas nama negara.
News
Bukan Hoax! Susu Kecoa Sedang Diteliti Sebagai Makanan Masa Depan
Published
2 months agoon
26/06/2025
Barakati.id – Di balik stigma serangga yang menjijikkan dan sering dianggap hama, kecoa ternyata menyimpan potensi besar dalam dunia nutrisi. Spesies Diploptera punctata, satu-satunya kecoa vivipar yang melahirkan ketimbang bertelur, ternyata menghasilkan cairan bergizi luar biasa yang disebut “susu kecoa”. Cairan ini bukan sekadar nutrisi biasa, melainkan kristal protein yang kaya akan energi dan asam amino esensial, berfungsi untuk memberi makan anak-anaknya yang masih berkembang di dalam tubuh induk.
Temuan ini menjadi perhatian global sejak diterbitkannya hasil studi oleh tim ilmuwan dari Institute of Stem Cell Biology and Regenerative Medicine di India. Penelitian yang dipublikasikan dalam International Union of Crystallography Journal (IUCrJ) pada tahun 2016 menunjukkan bahwa kristal susu kecoa mengandung semua asam amino esensial, lipid, serta gula dalam bentuk yang sangat terkonsentrasi. Bahkan, satu kristal kecil memiliki kandungan energi empat kali lebih tinggi daripada susu sapi dengan volume yang sama.
Para peneliti mengungkap bahwa kandungan gizi tinggi ini menjadikan susu kecoa sebagai kandidat superfood masa depan, terutama untuk mengatasi tantangan nutrisi global dan kebutuhan pangan berkelanjutan. Namun, untuk alasan etis dan teknis, tentu tidak ada rencana memerah jutaan kecoa. Sebagai solusinya, ilmuwan kini tengah mengembangkan metode biosintesis melalui modifikasi genetik guna memproduksi protein susu kecoa tanpa harus melibatkan serangga secara langsung.
Meski masih jauh dari pasar umum, kemungkinan besar dalam dekade mendatang kita bisa melihat kristal protein dari susu kecoa tersedia dalam bentuk suplemen atau campuran makanan tinggi gizi. Dunia mungkin belum siap menaruh tetesan susu kecoa ke dalam kopi pagi, tetapi dunia sains telah menegaskan satu hal: inovasi besar sering datang dari sumber paling tak terduga.

Bupati dan BPJN Sepakat Percepat Perubahan Status Lahan untuk Pembangunan Jalan Taluditi–Tolinggula

FIS UNG Gelar Sosialisasi Tarif Layanan Akademik, Pastikan Civitas Paham Kebijakan Baru

Wakil Gubernur Gorontalo Buka Gelar Budaya Nusantara dan Lomba Puisi, Apresiasi FKPT Gorontalo Dorong Generasi Muda Cinta Damai

DPD Partai Gerindra Provinsi Gorontalo Serahkan Bantuan Kemerdekaan RI ke-80 ke Panti Asuhan di Tiga Wilayah

Kolaborasi Internasional: UNG dan PAIR Siap Kembangkan Riset Kawasan Teluk Tomini

Dugaan Kepanikan ESDM dan Kejanggalan Izin PT Gorontalo Minerals, Ini Buktinya!

Sambut Mahasiswa Baru, UNG Tegaskan PKKMB Tanpa Perpeloncoan

DPD Gerindra Provinsi Gorontalo Bagikan 1000 Bendera Merah Putih untuk Warga

Tambang Emas, Luka di Tanah Bone Bolango

Prof. Eduart Wolok Dorong UNG Masuk Peta Persaingan Global

PKK GELAR JAMBORE PKK TINGKAT KABUPATEN GORUT

Kota Gorontalo Peringkat kedua Internet Paling Ngebutt se-Indonesia

PIMPIN RAPAT PENYERAPAN PROGRAM, BUPATI PUAS HASIL EVALUASI

PEMKAB GORUT BERIKAN BANTUAN RP. 1 JUTA/ORANG UNTUK JAMAAH CALON HAJI

Dua Kepala Desa Di copot Bupati
Terpopuler
-
Gorontalo3 months ago
Aleg DPR RI Rusli Habibie Nyatakan Dukungan Penuh untuk Pelaksanaan CSP XVIII di Gorontalo
-
Gorontalo2 months ago
Gerindra Sambut Tokoh Baru, Indra Gobel Resmi Bergabung
-
Gorontalo3 months ago
LSM Labrak Soroti Putusan Kasus Pupuk Subsidi: Diduga Ada Ketidaksesuaian Fakta dan Penanganan Tak Profesional
-
Gorontalo1 month ago
Warisan Budaya Terabaikan, Tim Langga Gorontalo Kesulitan Dana Menuju Ajang Nasional
-
Daerah2 months ago
SATRIA Provinsi Gorontalo Gelar Bakti Sosial dalam Rangka HUT ke-17
-
Gorontalo3 months ago
Seorang Suami di Randangan Tikam Istri Usai Mabuk, Keluarga Tuntut Proses Hukum Tegas
-
Gorontalo4 weeks ago
Dugaan Kepanikan ESDM dan Kejanggalan Izin PT Gorontalo Minerals, Ini Buktinya!
-
Gorontalo3 months ago
Wahidin: GERINDRA Adalah Partai Politik Khusus Bagi Orang yang Suka Becanda