Connect with us

Ruang Literasi

“The New Normal”, Apa pantas ?”

Published

on

Oleh: Achmad Satriawan Pahroji. S
Ketua Umum PERPIT Cabang Gorontalo Periode 2020

Covid-19 menyebar ke hampir semua negara di dunia, menembus batas-batas politik, ekonomi, dan kelas sosial. Sudah bukan rahasia publik lagi bahwa mulai dari masyarakat biasa, dokter dan perawat, hingga pejabat negara tidak terlepas dari risiko penularan virus ini.

Dengan penyebaran virus yang telah kita ketahui terjadi melalui kontak fisik, droplet (cairan yang keluar ketika bersin/batuk), dan menyentuh benda yang telah terkontaminasi oleh orang yang terinfeksi virus ini. Kebiasaan-kebiasaan sosial yang umum pun terpaksa harus dihindari demi mencegah penyebaran virus yang lebih luas.

Kurang lebih tiga bulan sudah Virus Corona hadir di Indonesia, namun vaksin yang kita nantikan belum kunjung ditemukan. Di seluruh dunia, masyarakat terpaksa mengubah kebiasaan mereka, baik di tempat kerja, kampus, hingga di tempat ibadah. Beberapa kebijakan yang dianggap sebagai langkah preventif telah dilakukan, mulai dari penerapan physical distancing sampai kebijakan yang sering kita dengar yakni Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di hampir semua daerah di Indonesia.

Angka penularan yang masih jauh dari kata “landai” merupakan alasan kebijakan tersebut diambil oleh pemerintah. Tidak bisa dipungkiri, kurangnya edukasi dan pemahaman masyarakat secara umum di Indonesia menyebabkan kurang maksimalnya himbauan ini diterapkan sehingga masih jauh dari tujuan yang diharapkan. Bukan hanya itu, potret kejadian negatif di berbagai tempat pun kerap kita saksikan di beberapa media sosial, seperti terjadinya konflik antara aparat keamanan dengan pedagang, pekerja harian, sampai jemaah rumah ibadah. Kembali lagi, perlu kesadaran bersama.

Bersamaan dengan rencana pemerintah untuk melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), skenario baru berjudul “New Normal” segera dirilis di tanah ibu pertiwi, produktivitas ekonomi menjadi alasan wacana ini siap diterapkan di RI. Masih hangat di telinga kita laporan jubir penanganan covid-19 Achmad Yurianto dalam sepekan terakhir ini, beliau memaparkan pertambahan kasus positif covid di indonesia bertahan pada angka 400-500 kasus per hari. Ini tentu bukan angka sedikit, ini membuktikan bahwa kebijakan PSBB saja tidak cukup untuk memutus mata rantai penyebaran virus ini, lantas kemudian pemerintah ingin melonggarkan ?.

Berbeda dengan negara tetangga sebut saja Vietnam dan Thailand tercatat dengan penambahan kasus yang berkurang paling signifikan, pada 18 mei 2020 kemarin hanya terdapat penambahan 4 dan 3 kasus saja, tidak heran jika negara-negara tersebut telah melonggarkan kebijakannya.

Dengan kata lain, kasus covid-19 di Indonesia belum bisa dikatakan melandai. Tentu pertanyaan paling mendasar di negeri ini adalah “yakin ini sudah pantas diterapkan ?”

Yap. Kurva penambahan kasus yang belum berkurang signifikan sampai saat ini dan efektivitas PSBB yang masih diragukan, apakah tepat Indonesia berencana melakukan relaksasi PSBB? meskipun selama PSBB saja kasus baru dan angka kematian masih mengancam. Kembali lagi, apakah pantas ?

Ruang Literasi

Media Sosial dan Rasa Tidak Cukup

Published

on

Penulis : M.Z. Aserval Hinta

Di jaman ini, tiap orang seolah hidup di dua dunia sekaligus. Di satu sisi, kita punya kehidupan nyata dengan segala rutinitas yang kadang membosankan. Tapi di sisi lain, ada dunia digital yang selalu hidup—selalu ada hal baru yang muncul setiap kita buka layar. Kadang kita hanya ingin lihat sebentar, tapi tiba-tiba sudah habis waktu berjam-jam tanpa sadar. Scroll sedikit jadi scroll panjang, cuma mau cek notifikasi malah berakhir di video acak yang entah kenapa terasa menarik.

Buat Generasi Z seperti saya, media sosial itu semacam panggung kecil. Tempat menunjukkan versi terbaik dari diri sendiri—foto yang sudah diedit sedikit, caption yang dipikirkan matang, atau story yang sengaja dipost biar terlihat “oke”. Kita tahu itu hal biasa, tapi tetap aja kadang muncul perasaan aneh, seperti kita harus selalu terlihat baik-baik saja. Padahal, di balik layar, hidup ya nggak selalu semulus feed Instagram.

Di sana juga ada semacam dorongan untuk membandingkan diri. Melihat teman yang sudah sukses, jalan-jalan ke mana-mana, punya pasangan harmonis, atau karier yang seakan cepat banget naik. Dan tanpa sadar, kita merasa tertinggal. Padahal yang kita lihat cuma potongan kecil dari hidup orang lain—sekedar highlight, bukan keseluruhan cerita. Tapi media sosial memang pintar membentuk ilusi, sampai-sampai lupa bahwa setiap orang punya ritme masing-masing.

Meski begitu, media sosial juga punya sisi yang bikin kita tetap bertahan. Ada komunitas-komunitas kecil yang bikin kita merasa nggak sendirian. Ada tempat belajar hal baru, dari tips keuangan sampai cara foto biar aesthetic. Ada orang-orang baik yang tanpa sadar menguatkan kita lewat postingan sederhana. Di tengah ramainya dunia maya, kita tetap bisa menemukan hal-hal yang memberi arti.

Akhirnya, media sosial bukan cuma soal tampilan. Ia adalah cermin yang memperlihatkan siapa kita ketika sedang mencari tempat di dunia yang makin cepat berubah. Kita mungkin belum sempurna, masih belajar, masih jatuh bangun. Tapi selama kita tetap ingat bahwa hidup asli lebih penting daripada likes dan views, dunia digital ini bisa jadi ruang yang bukan hanya menghibur, tapi juga membentuk kita jadi pribadi yang lebih sadar dan lebih manusia.

Gen Z

Continue Reading

Gorontalo

Medsos, Ladang Manfaat yang diubah Fungsi

Published

on

Oleh : Sudirman Mile

Sejak facebook bisa menghasilkan uang dg merubah akun biasa menjadi akun profesional, begitu banyak yg jadi tidak profesional dalam menghadirkan konten di setiap postingan mereka.

Dari hak cipta hingga adab dan etika dalam mengkomposisi dan menyebarkan sebuah konten, tidak dipelajari dan diperhatikan oleh orang-orang ini, dan hasilnya, viral secara instan namun gaduh dan membuat polemik di tengah masyarakat.

Beberapa contoh kasus telah sering terjadi, dan yg menyedihkan adalah, para pegiat medsos lain ikut serta di dalam kolom komentar seolah menjadi wasit maupun juri tentang hal yg menjadi pembahasan.

Booming dan menjadi pembicaraan dimana-mana. Setiap orang merasa bangga krn bisa terlibat dalam konten-konten viral tersebut walaupun jauh dari manfaat dan nilai-nilai edukasi.

Di kalangan milenial dan gen z yg awam, ini membentuk opini mereka bahwa, trend polemik dalam bermedsos hari ini adalah sebuah kewajaran hingga membuat mereka menormalisasi keadaan tadi di aktifitas kesehariannya.

Akibatnya, para pegiat media sosial yang tidak memperhatikan isi kontennya secara baik tadi, menciptakan musuh dan lawan di kehidupan nyatanya, bahkan saling melaporkan satu sama lain akibat tindakan yg tidak menyenangkan dari sesama pegiat medsos lainnya.

Olehnya, dalam menjadi kreator konten di jaman yg serba cepat segala informasinya, kita butuh belajar dan memahami banyak aspek, agar bermedsos dan monetisasi selaras dg nilai-nilai edukasi yg seharusnya menjadi tujuan dalam bermedia sosial, yakni menyambung tali persaudaraan melalui dunia internet.

Continue Reading

Gorontalo

Yang Menyatukan Warga Ternyata Bukan Kafe Mewah, Tapi Kursi Lipat

Published

on

Oleh: Zulfikar M. Tahuru

Gorontalo – Pelataran Pasar Sentral di Kota Gorontalo belakangan menjadi ruang berkumpul yang semakin ramai. Pada malam hari, area yang siang harinya dipenuhi aktivitas jual beli kebutuhan dapur itu berubah menjadi titik temu warga. Kursi lipat, booth portabel yang bisa pasang-bongkar dengan cepat, serta deretan pedagang UMKM membentuk suasana yang hangat dan cair. Di sini, orang-orang merasa cukup hadir apa adanya — tanpa desain interior, tanpa tema suasana, dan tanpa batasan sosial tak kasat mata.

Fenomena ini menunjukkan perubahan kebiasaan warga dalam memilih ruang perjumpaan sosial. Jika sebelumnya banyak aktivitas berkumpul berlangsung di kafe dan ruang privat yang menonjolkan estetika visual, kini ruang terbuka dengan biaya rendah justru lebih diminati. Selain pertimbangan harga, ruang terbuka memberi kenyamanan: siapa saja dapat hadir tanpa tekanan penampilan dan tanpa tuntutan minimal order.

Namun ada pertanyaan yang perlu dicermati lebih lanjut. Apakah keramaian ini merupakan perpindahan dari ruang yang lebih mahal menuju ruang terbuka? Ataukah sejak awal banyak warga yang memerlukan ruang sosial yang lebih ramah, dan baru sekarang ruang itu tersedia?

Demikian pula, siapa yang berjualan di sana: pelaku UMKM baru yang sedang membangun usaha, atau pelaku usaha yang sudah mapan yang memperluas cabang usahanya di ruang terbuka?

Pertanyaan-pertanyaan di atas layak diteliti secara lebih rinci oleh kalangan akademisi dan kaum terpelajar.

Yang jelas, Kota Gorontalo sedang menunjukkan arahnya. Ruang hidup itu tumbuh dari bawah. Dan sejauh ini, Pemerintah Kota memilih untuk mendukung dan memfasilitasi pertumbuhannya. Ruang publik tidak langsung dikenakan retribusi, tetapi dibiarkan menemukan bentuknya terlebih dahulu.

Tugas kita ke depan adalah memastikan bahwa ruang tersebut tetap inklusif, terbuka, dan tidak mengambil bentuk yang hanya menguntungkan sebagian kecil pihak.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler