Connect with us

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

Mengapa PKI Tidak “Laku” di Gorontalo?

Published

on

Oleh : Funco Tanipu (Dosen Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo)

Pada Pemilu tahun 1955, Partai Komunis Indonesia (PKI) meraih 0.78 % suara, sedangkan partai Islam yakni Masyumi, PSII dan NU meraih 84.4 %. Adapun partai nasional yang diwakili PNI meraih sekitar 12 % suara.

Jika merujuk pada data jumlah penduduk tahun 1950 an, penduduk Gorontalo berada pada kisaran 300 ribu jiwa, berarti pemilih PKI sejumlah kurang lebih 2000 an orang. Sedangkan pemilih partai Islam di Gorontalo sekitar 250 ribuan orang.

Secara nasional, jumlah pemilih PKI berada pada urutan keempat setelah PNI, Masyumi dan NU. Total pemilih PKI pada saat itu sekitar 16.4 % atau sekitar 6 juta pemilih.

Hasil perolehan PKI secara nasional yang berbeda jauh dengan perolehan suara di Gorontalo memberikan pesan bahwa PKI termasuk metode beserta ideologinya “tidak laku” di Gorontalo. Mengapa hal tersebut terjadi?

Pertama, isu kampanye yang dilancarkan oleh PKI yakni ketimpangan, ketidakadilan, dan kesenjangan yang dirasakan rakyat saat itu menjadi topik yang dikampanyekan oleh Masyumi, NU dan PSII. Dalil dan strategi PKI yang menggunakan asumsi Marxian tidak mempan untuk mengubah persepsi masyarakat Gorontalo. Seperti contoh isu kelas yang digencarkan untuk menarik garis beda antar masyarakat sulit terterima karena sistem kekerabatan Gorontalo yang begitu kuat. Sistem Ngala’a yang berbasis marga (yang kemudian saling terkait dalam perkawinan) begitu kuat dan dipengaruhi oleh tokoh-tokoh keluarga yang memiliki kaitan erat dengan para Wuleya lo Lipu, sehingga polarisasi berbasis kelas ala Marxian tidak berhasil.

Kedua, PKI di Gorontalo tidak memiliki basis wilayah yang kuat, bahkan terpencar tanpa jejaring politik yang kuat. Lemahnya jejaring tersebut karena struktur sosial Islam di Gorontalo yang berbasis pada kekerabatan kuat telah menjadi benteng nilai dan juga struktural. Di Jawa, pertentangan antara PKI dan Islam begitu tegang, sehingga menyebabkan banyaknya pembantaian. Hal ini berbeda dengan Gorontalo karena dari segi jumlah sudah kalah, apalagi jejaring dan struktur politik yang dikuasai oleh tokoh-tokoh elit agama lokal. Selain itu, walaupun di Gorontalo tidak memiliki basis-basis seperti pesantren, namun Islam di Gorontalo “hidihima mototoheto” (“dipegang” atau diyakini secara kuat, dengan batin) karena adanya guru-guru agama kampung yang merangkap menjadi tokoh adat. Walaupun di Gorontalo pada saat itu ada yang masuk dalam kategori “abangan”, tetapi karena intensitas pelaksanaan tradisi keagamaan/adat di Gorontalo cukup sering maka “konsolidasi” pun menjadi lebih kuat.

Ketiga, peran tokoh agama sekaligus tokoh adat yang begitu sentral di Gorontalo menjadikan mereka sebagai episentrum informasi yang terpercaya dan informasi itu disebarkan melalui metode “lolohuma” (saling bisik), tidak dalam kegiatan yang menghadirkan massa yang banyak. Nah, distribusi informasi “negatif” tentang PKI cepat menyebar dan bahkan menjadi “hantu” sebab jaringan kekerabatan Gorontalo yang dikuasai tokoh non PKI menjadi medium kuat dalam penyebaran informasi itu. Contohnya, pada waktu tahun 90 an, bisa kita lihat betapa penyebaran informasi “gola” (penculik anak-anak) hanya dalam tempo beberapa waktu bisa menyebar cepat dari Popayato ke Taludaa. Dalam kurun waktu yang sama, “dudu-dudula” (bertemu, berdekatan, tidak saja secara fisik, tapi juga secara kultur) sambil “hitambelanga” (duduk bersila dalam bentuk lingkaran). Hari ini, metode tersebut dikomodifikasi menjadi “karlota” (karlota adalah tokoh di film Maria Cinta yang Hilang).

Pertanyaannya, apakah tidak “lakunya” PKI saat lalu bisa dijadikan pelajaran bagi partai-partai di Gorontalo hari ini (menjelang Pemilu)? Karena sejarah politik Gorontalo termasuk perspektif sosio-antropologis dalam memahami kondisi masyarakat Gorontalo masih relevan dengan kondisi sosial-politik hari ini.

Relevansi tersebut tergantung pemahaman setiap partai politik dalam mengartikulasikan langkah dan metode politiknya, bahwa jika ingin meraih “kemenangan politik” yang besar di Gorontalo mau tidak mau harus memanfaatkan jaringan kekerabatan berbasis marga dan bagaimana bisa melibatkan tokoh-tokoh dalam keluarga tersebut untuk menjadi agen.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Advertorial

FIS UNG Gelar Sosialisasi Tarif Layanan Akademik, Pastikan Civitas Paham Kebijakan Baru

Published

on

UNG – Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Gorontalo (UNG) menggelar sosialisasi Tarif Layanan Penunjang Akademik Tahun 2025, Rabu (13/8/2025) di Aula FIS. Kegiatan yang dimulai pukul 09.00 WITA ini dipimpin langsung Wakil Rektor II UNG, Dr. Moh. Hidayat Koniyo, S.T., M.Kom., selaku narasumber utama.

Dalam paparannya, Dr. Hidayat memaparkan secara rinci ketentuan dan penyesuaian tarif yang akan mulai berlaku tahun depan. Ia menegaskan, kebijakan ini dirancang untuk meningkatkan kualitas layanan akademik sekaligus menunjang proses pembelajaran di UNG.

Dekan FIS, Dr. Drs. Zuchri Abdussamad, S.I.K., M.Si., mengapresiasi kehadiran Wakil Rektor II dalam kegiatan tersebut.

“Sosialisasi ini penting agar seluruh civitas akademika memahami kebijakan yang berlaku. Transparansi dan pemahaman bersama akan mendorong penerapan kebijakan secara efektif,” ujarnya.

Kegiatan dihadiri pimpinan fakultas, dosen, tenaga kependidikan, dan perwakilan mahasiswa. Antusiasme peserta terlihat dari diskusi interaktif yang membahas dampak implementasi tarif terhadap aktivitas akademik.

FIS UNG menegaskan, sosialisasi ini merupakan wujud komitmen fakultas dan universitas dalam menjaga keterbukaan informasi serta memberikan pelayanan terbaik bagi seluruh civitas akademika.

Continue Reading

Advertorial

Kolaborasi Internasional: UNG dan PAIR Siap Kembangkan Riset Kawasan Teluk Tomini

Published

on

UNG – Universitas Negeri Gorontalo (UNG) menerima kunjungan Tim Partnership for Australia–Indonesia Research (PAIR) Sulawesi bersama Konsulat Jenderal Australia di Makassar, Selasa (12/8). Rombongan dipimpin Direktur Indonesia untuk PAIR, Dr. Hasnawati Saleh, dan disambut langsung Rektor UNG, Prof. Dr. Ir. Eduart Wolok, S.T., M.T., di ruang kerja rektor.

Turut hadir mendampingi Rektor, Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Kerja Sama, dan Sistem Informasi Prof. Dr. Harto Malik, M.Hum., Kepala LPPM UNG Prof. Lanto Ningrayati Amali, S.Kom., M.Kom., Ph.D., serta tim peneliti UNG.

Rektor UNG, Prof. Eduart, menyampaikan apresiasi atas kunjungan tersebut dan menegaskan bahwa kolaborasi riset internasional ini sejalan dengan fokus pengembangan daerah berbasis kawasan, khususnya di Teluk Tomini.

“Kehadiran Tim PAIR dan Konjen Australia menjadi langkah penting memperkuat jejaring penelitian yang memberi kontribusi langsung bagi masyarakat. UNG akan memberikan dukungan penuh agar kolaborasi ini berjalan optimal,” ujar Eduart.

Sementara itu, Dr. Hasnawati Saleh menjelaskan bahwa kunjungan ini bertujuan mempererat komunikasi dengan mitra universitas dan stakeholder di Gorontalo, sekaligus memperkenalkan program PAIR kepada peneliti UNG yang menjadi mitra kerja.

Pertemuan akan dilanjutkan dengan kunjungan ke pusat riset di Desa Biluhu, daerah pesisir Gorontalo, sebagai bagian dari implementasi riset berbasis kawasan.

“Kami berterima kasih atas dukungan Rektor UNG dan berharap kerja sama ini menjadi awal yang baik antara seluruh pihak,” pungkas Hasnawati.

Continue Reading

Advertorial

UNG Sambut Mahasiswa Baru dengan Pembekalan Intensif Selama 5 Hari

Published

on

UNG – Sebanyak 5.281 mahasiswa baru resmi menjadi bagian dari keluarga besar civitas akademika Universitas Negeri Gorontalo (UNG). Mereka dibekali pengenalan kehidupan kampus melalui kegiatan Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB) 2025, yang berlangsung selama lima hari mulai 11–15 Agustus 2024.

Dalam arahannya, Rektor UNG, Prof. Dr. Ir. Eduart Wolok, S.T., M.T., menegaskan pentingnya PKKMB sebagai langkah awal bagi mahasiswa baru untuk beradaptasi dengan dunia perkuliahan.

“Kehidupan kampus sangat berbeda dengan masa sekolah. Melalui PKKMB, mahasiswa akan memahami sistem pembelajaran, budaya akademik, dan berbagai aktivitas yang akan dijalani selama masa studi,” ujar Eduart.

Rektor menekankan bahwa momen ini bukan sekadar seremonial, tetapi wadah strategis untuk membentuk kesiapan mental dan akademik mahasiswa dalam menghadapi dinamika perkuliahan selama empat tahun ke depan.

Ketua Panitia PKKMB 2025, Dr. Melan Angriani Asnawi, S.Pd., M.Si., menjelaskan kegiatan ini diikuti oleh mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia, dan dilaksanakan di tingkat universitas serta fakultas.

Selama pelaksanaan, mahasiswa baru dibekali materi penting, antara lain kehidupan berbangsa dan bernegara, jati diri bangsa dan bela negara, sistem pendidikan tinggi di Indonesia, perguruan tinggi di era digital dan revolusi industri, pengembangan karakter, serta muatan lokal dan kearifan lokal Kawasan Teluk Tomini.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler