Connect with us

Ruang Literasi

Pentingkah Peran Media Massa Dalam Pengawasan Pemilu

Published

on

Oleh: Irfan Yasin (Founder Komunitas Literasi Gorontalo)

Media massa telah menjadi alat kontrol sosial dan pilar keempat demokrasi dimana kebebasan pers digunakan sebagai alat ukur melihat demokratisasi negara.

Media yang netral bergerak secara independen dalam menjalankan tugas jurnalistiknya sangatlah diharapkan sehingga karya dihasilkan benar-benar sesuai fakta dan pastinya tidak merugikan masyarakat.

Sekarang ini kita dihadapkan dengan pesta demokrasi yang biasa dilakukan 5 tahun sekali. Keberhasilan pelaksanaan pemilihan umum sangatlah diharapkan oleh semua orang, tentunya salah satu kesuksesan pelaksanaan pemilihan umum tak lepas dari fungsi pengawasan media massa.

Sebagai kontrol tentu peran media massa sangat dibutuhkan terlebih lagi media massa sebagai salah satu instrumen yang dinilai masif dan sangat membantu dalam menginformasikan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam penyelenggaraan pemilihan umum.

Selain itu, media massa juga berperan penting dalam penyebarluasan informasi, sehingga kerja-kerja penyelenggara pemilu dalam mensosialisasikan tahapan-tahapan yang berlangsung bisa diketahui oleh orang banyak.

Media massa tidak hanya menjadi bagian penting dari kontestasi politik, tetapi juga memiliki posisi sentral menjaga stabilitas politik dan laju demokratisasi sebuah negara.

Perlu juga diketahui, fungsi pengawasan oleh media massa dirasa perlu untuk menjaga terjadinya kecurangan pelanggaran dalam pemilu, sehingga optimalisasi pengawasan bukan hanya dilakukan oleh penyelenggara saja, namun melibatkan media massa dan seluruh elemen.

Tak sampai disitu saja, media massa juga merupakan bagian dari sumber informasi tercepat dalam hal menyebarluaskan informasi kepada masyarakat. Oleh sebab itu pengawasan media pada proses tahapan pemilihan umum sangatlah penting.

Jadi jangan heran jika semua tahapan selalu diekspos oleh media khususnya di wilayah Provinsi Gorontalo.

Berikutnya, untuk melakukan pencegahan pelanggaran pemilu, harus ada keterlibatan berbagai stakeholder yakni bukan hanya dilakukan oleh penyelenggara pemilu saja baik Bawaslu, KPU, DKPP, tetapi semua masyarakat baik ormas, kelompok literasi, maupun media harus terlibat dalam pengawasan pemilu mendatang.

Antisipasi pelanggaran dilakukan oleh peserta pemilu dan masyarakat tentu membutuhkan informasi terkait tahapan yang bisa dilakukan maupun tidak. Maka fungsi media dalam memberikan infomasi terhadap tahapan pemilu harus terus menerus dan jangan sampai terputus, walaupun informasinya dengan berbagai perspektif yang dipublikasikan.

Harapannya semua tahapan pemilu 2024 dapat diketahui oleh masyarakat luas dan dilakukan dengan baik serta transparan, agar terciptanya pemilih cerdas dalam menyukseskan pemilu 2024 aman, damai dan tanpa ada perpecahan.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ruang Literasi

Media Sosial dan Rasa Tidak Cukup

Published

on

Penulis : M.Z. Aserval Hinta

Di jaman ini, tiap orang seolah hidup di dua dunia sekaligus. Di satu sisi, kita punya kehidupan nyata dengan segala rutinitas yang kadang membosankan. Tapi di sisi lain, ada dunia digital yang selalu hidup—selalu ada hal baru yang muncul setiap kita buka layar. Kadang kita hanya ingin lihat sebentar, tapi tiba-tiba sudah habis waktu berjam-jam tanpa sadar. Scroll sedikit jadi scroll panjang, cuma mau cek notifikasi malah berakhir di video acak yang entah kenapa terasa menarik.

Buat Generasi Z seperti saya, media sosial itu semacam panggung kecil. Tempat menunjukkan versi terbaik dari diri sendiri—foto yang sudah diedit sedikit, caption yang dipikirkan matang, atau story yang sengaja dipost biar terlihat “oke”. Kita tahu itu hal biasa, tapi tetap aja kadang muncul perasaan aneh, seperti kita harus selalu terlihat baik-baik saja. Padahal, di balik layar, hidup ya nggak selalu semulus feed Instagram.

Di sana juga ada semacam dorongan untuk membandingkan diri. Melihat teman yang sudah sukses, jalan-jalan ke mana-mana, punya pasangan harmonis, atau karier yang seakan cepat banget naik. Dan tanpa sadar, kita merasa tertinggal. Padahal yang kita lihat cuma potongan kecil dari hidup orang lain—sekedar highlight, bukan keseluruhan cerita. Tapi media sosial memang pintar membentuk ilusi, sampai-sampai lupa bahwa setiap orang punya ritme masing-masing.

Meski begitu, media sosial juga punya sisi yang bikin kita tetap bertahan. Ada komunitas-komunitas kecil yang bikin kita merasa nggak sendirian. Ada tempat belajar hal baru, dari tips keuangan sampai cara foto biar aesthetic. Ada orang-orang baik yang tanpa sadar menguatkan kita lewat postingan sederhana. Di tengah ramainya dunia maya, kita tetap bisa menemukan hal-hal yang memberi arti.

Akhirnya, media sosial bukan cuma soal tampilan. Ia adalah cermin yang memperlihatkan siapa kita ketika sedang mencari tempat di dunia yang makin cepat berubah. Kita mungkin belum sempurna, masih belajar, masih jatuh bangun. Tapi selama kita tetap ingat bahwa hidup asli lebih penting daripada likes dan views, dunia digital ini bisa jadi ruang yang bukan hanya menghibur, tapi juga membentuk kita jadi pribadi yang lebih sadar dan lebih manusia.

Gen Z

Continue Reading

Gorontalo

Medsos, Ladang Manfaat yang diubah Fungsi

Published

on

Oleh : Sudirman Mile

Sejak facebook bisa menghasilkan uang dg merubah akun biasa menjadi akun profesional, begitu banyak yg jadi tidak profesional dalam menghadirkan konten di setiap postingan mereka.

Dari hak cipta hingga adab dan etika dalam mengkomposisi dan menyebarkan sebuah konten, tidak dipelajari dan diperhatikan oleh orang-orang ini, dan hasilnya, viral secara instan namun gaduh dan membuat polemik di tengah masyarakat.

Beberapa contoh kasus telah sering terjadi, dan yg menyedihkan adalah, para pegiat medsos lain ikut serta di dalam kolom komentar seolah menjadi wasit maupun juri tentang hal yg menjadi pembahasan.

Booming dan menjadi pembicaraan dimana-mana. Setiap orang merasa bangga krn bisa terlibat dalam konten-konten viral tersebut walaupun jauh dari manfaat dan nilai-nilai edukasi.

Di kalangan milenial dan gen z yg awam, ini membentuk opini mereka bahwa, trend polemik dalam bermedsos hari ini adalah sebuah kewajaran hingga membuat mereka menormalisasi keadaan tadi di aktifitas kesehariannya.

Akibatnya, para pegiat media sosial yang tidak memperhatikan isi kontennya secara baik tadi, menciptakan musuh dan lawan di kehidupan nyatanya, bahkan saling melaporkan satu sama lain akibat tindakan yg tidak menyenangkan dari sesama pegiat medsos lainnya.

Olehnya, dalam menjadi kreator konten di jaman yg serba cepat segala informasinya, kita butuh belajar dan memahami banyak aspek, agar bermedsos dan monetisasi selaras dg nilai-nilai edukasi yg seharusnya menjadi tujuan dalam bermedia sosial, yakni menyambung tali persaudaraan melalui dunia internet.

Continue Reading

Gorontalo

Yang Menyatukan Warga Ternyata Bukan Kafe Mewah, Tapi Kursi Lipat

Published

on

Oleh: Zulfikar M. Tahuru

Gorontalo – Pelataran Pasar Sentral di Kota Gorontalo belakangan menjadi ruang berkumpul yang semakin ramai. Pada malam hari, area yang siang harinya dipenuhi aktivitas jual beli kebutuhan dapur itu berubah menjadi titik temu warga. Kursi lipat, booth portabel yang bisa pasang-bongkar dengan cepat, serta deretan pedagang UMKM membentuk suasana yang hangat dan cair. Di sini, orang-orang merasa cukup hadir apa adanya — tanpa desain interior, tanpa tema suasana, dan tanpa batasan sosial tak kasat mata.

Fenomena ini menunjukkan perubahan kebiasaan warga dalam memilih ruang perjumpaan sosial. Jika sebelumnya banyak aktivitas berkumpul berlangsung di kafe dan ruang privat yang menonjolkan estetika visual, kini ruang terbuka dengan biaya rendah justru lebih diminati. Selain pertimbangan harga, ruang terbuka memberi kenyamanan: siapa saja dapat hadir tanpa tekanan penampilan dan tanpa tuntutan minimal order.

Namun ada pertanyaan yang perlu dicermati lebih lanjut. Apakah keramaian ini merupakan perpindahan dari ruang yang lebih mahal menuju ruang terbuka? Ataukah sejak awal banyak warga yang memerlukan ruang sosial yang lebih ramah, dan baru sekarang ruang itu tersedia?

Demikian pula, siapa yang berjualan di sana: pelaku UMKM baru yang sedang membangun usaha, atau pelaku usaha yang sudah mapan yang memperluas cabang usahanya di ruang terbuka?

Pertanyaan-pertanyaan di atas layak diteliti secara lebih rinci oleh kalangan akademisi dan kaum terpelajar.

Yang jelas, Kota Gorontalo sedang menunjukkan arahnya. Ruang hidup itu tumbuh dari bawah. Dan sejauh ini, Pemerintah Kota memilih untuk mendukung dan memfasilitasi pertumbuhannya. Ruang publik tidak langsung dikenakan retribusi, tetapi dibiarkan menemukan bentuknya terlebih dahulu.

Tugas kita ke depan adalah memastikan bahwa ruang tersebut tetap inklusif, terbuka, dan tidak mengambil bentuk yang hanya menguntungkan sebagian kecil pihak.

Continue Reading

Facebook

Terpopuler