Ruang Literasi
POLITIK IDENTITAS MENJELANG PEMILU 2019
Published
7 years agoon
Oleh : Shaqti Qhalbuddin Jusuf
Fungsionaris PB HMI Periode 2018-2020
Tahun 2018 memulai dinamika politik baru di Indonesia menuju pemilihan umum 2019. Dalam kampanye pemilihan, isu identitas menjadi salah satu topik yang sering dibahas dan menjadi fokus utama. Ini mengalihkan perhatian dari program-program yang ditawarkan oleh calon dan dapat memiliki dampak negatif pada kualitas demokrasi di Indonesia. Perdebatan tentang identitas dan isu-isu yang berkaitan dapat menimbulkan polarisasi dan mengurangi diskusi produktif tentang hal-hal seperti visi dan misi calon, solusi untuk masalah negara, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kebijakan publik.
Politik identitas merupakan isu penting dalam perpolitikan Indonesia, khususnya dalam kontestasi pemilihan umum. Meskipun isu ini tidak baru, istilah “politik identitas” sendiri mungkin masih kurang familiar bagi sebagian besar masyarakat. Politik identitas dapat didefinisikan sebagai gaya politik yang berusaha memperjuangkan hak dan martabat kelompok tertentu yang dirasa termarginalisasi. Hal ini bisa dilakukan dengan memperkuat rasa identitas bersama melalui faktor-faktor seperti suku, agama, ras, jenis kelamin, atau kepentingan yang sama.
Ditengah kondisi masyarakat yang masih berharap kepentingan dari kelompok mereka dapat terealisasi, politik identitas dapat dijadikan senjata yang cukup ampuh dalam memenangkan pemilu. Politik identitas ini biasa digunakan oleh para calon untuk menggambarkan citra diri bahwa ada kesamaan latarbelakang ataupun tujuan yang sesuai dengan kepentingan kelompok masyarakat tertentu, hal ini semata-mata untuk menarik simpati dari kelompok masyarakat itu agar mau menyumbangkan suara mereka untuk calon tersebut.
Politik identitas memang dapat menjadi strategi yang menarik perhatian dan meraup suara. Namun, harus diakui bahwa politik identitas juga memiliki beberapa efek samping. Pada saat sebuah kelompok masyarakat memiliki identitas dan kepentingan yang sama dengan calon yang berkampanye, persatuan antara mereka dapat tercipta. Namun, pada saat yang sama, ada kemungkinan juga akan terjadi perpecahan karena ada kelompok masyarakat lain yang memiliki identitas dan kepentingan yang berbeda dari apa yang ditawarkan oleh calon tersebut.
Konflik sosial menjelang pemilu biasanya muncul akibat menguatnya politik identitas. Narasi dalam politik identitas yang muncul menjelang pemilu 2019 berpotensi menimbulkan segregasi dalam tatanan sosial di masyarakat. Keretakan yang muncul dari pertemanan hingga kekeluarga akibat perbedaan pilihan dukungan terhadap calon tertentu. Penerapan politik identitas yang menyimpang akan sangat merugikan suatu kelompok yang memiliki satu identitas yang sama. Apalagi menjelang Pilpres 2019 ini, terjadi peningkatan hate speech (ujaran kebencian) yang memenuhi ruang-ruang publik terutama di media sosial.
Politik identitas, meskipun memiliki peran penting dalam demokrasi dan menjadi wadah aspirasi bagi kelompok-kelompok yang memiliki identitas tertentu, harus diterjemahkan dengan cara yang sopan dan berkualitas. Identitas politik harus memperhatikan etika dan moral, serta tidak mengabaikan atau menghina kelompok lain yang berbeda. Dalam hal ini, politik identitas baik yang berbasis pada agama, etnis, kedaerahan, maupun yang bernuansa ideologi, paham, dan polarisasi politik yang ekstrem, harus dikembangkan dengan cara yang tidak merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
Polarisasi Politik Identitas
Polarisasi politik identitas yang berkembang saat ini, membawa dampak negatif pada keharmonisan sosial di masyarakat. Elite politik seharusnya memimpin dengan baik dan memberikan contoh bagaimana berkompetisi secara sehat dan elegan, namun ternyata banyak dari mereka yang justru memperkeruh situasi dengan mengabaikan etika dan moral. Hasilnya, bullying, pemblokiran akun media sosial, perpecahan kelompok-kelompok keluarga, bahkan tindak kekerasan terhadap pihak yang berbeda orientasi politik, menunjukkan bahwa masyarakat gagal dalam menilai perbedaan demokratis.
Virus kengototan dalam mempertahankan nilai-nilai kebenaran masing-masing, turut memperparah situasi. Para elite politik bertanggung jawab untuk membimbing masyarakat dengan pendidikan politik yang baik dan mengajarkan nilai-nilai demokrasi yang sebenar-benarnya. Rekonsiliasi nasional juga sangat penting untuk memperbaiki situasi dan menyelesaikan kegaduhan yang membahayakan.
Di samping itu, masyarakat sendiri perlu memperkuat cara berpikir rasional dan menerima perbedaan, termasuk dalam hal pilihan politik. Tanpa rasa toleransi dan memahami perbedaan, situasi akan terus memburuk dan merugikan masyarakat secara keseluruhan.
Pemilihan presiden dan gubernur di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah memperlihatkan tanda-tanda polarisasi yang sangat kuat. Dalam Pilpres 2014 dan Pilgub Jakarta 2017, diskursus media sosial memainkan peran besar dalam memperluas perpecahan dalam masyarakat. Fenomena polarisasi semakin jelas terlihat sejak Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017, dan mencapai titik puncaknya pada Pilpres 2019. Dalam Pilgub DKI Jakarta 2017, fokus kampanye yang berpusat pada Islam dan rehabilitasi istilah “pribumi” merupakan contoh nyata dari polarisasi politik. Isu agama, terutama pernyataan kontroversial Ahok terhadap surat Al-Maidah ayat 51, memiliki dampak signifikan terhadap kemenangan Anies-Sandi dalam pemilihan tersebut.
Menjelang pemilu tahun 2019, konflik-konflik pembelahan politik yang terpolarisasi seperti panggilan “cebong” bagi pendukung calon presiden petahana Joko Widodo dan “kampret” untuk pendukung Prabowo Subianto. Pembelahan-pembelahan semacam ini perlu direduksi, sebab kedamaian dan keharmonisan merupakan entitas yang harus terus dilestarikan di tengah-tengah masyarakat.
Persatuan ditengah Kemajemukan
Secara Sunatullah, setiap orang memang lahir berbeda antara satu dengan yang lain. Perbedaan merupakan suatu hal yang tidak dapat diterima oleh seluruh masyarakat, namun harus diterima dan dalam hal ini disikapi secara bijak. Dalam UUD 1945, perbedaan diterima dengan cara memberikan perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif pada setiap warga negara. Pasal 27 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki martabat dan hak yang sama dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tersebut tanpa terkecuali.
Keberagaman adalah sebuah ciri khas yang membuat bangsa Indonesia begitu unik. Dengan berbagai latar belakang, identitas, dan keyakinan, kita berhasil menjadi satu kesatuan yang kuat dan bersatu. Meskipun banyak perbedaan yang mendasar, namun kita pasti mampu mengatasi hal tersebut dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip persatuan dan kesatuan sebagai bangsa Indonesia.
Politik dan Aktivitas Sosial
Dunia politik merupakan sebuah domain aktivitas sosial yang menyangkut perebutan dan pendistribusian kekuasaan. Dunia politik mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan domain aktivitas sosial lainnya. Karekter tersebut terbagi atas; Pertama, masyarakat turut terlibat secara langsung maupun tidak langsung di dalam dunia politik. Artinya, ada masyarakat yang secara langsung turut terjun dalam proses politik dan ada juga masyarakat yang tidak berperan apa-apa, tetapi keduanya merasakan dampak dari aktivitas politik tersebut.
Kedua, tersedianya institusi (lembaga) yang secara legal mengatur aktivitas politik. Lembaga inilah yang menjadi tools (alat) dalam aktivitas politik, seperti; publik, media, penyelenggara pemilu, parpol serta parlemen. Ketiga, aturan main dan etika dalam dunia perpolitikan merupakan hal yang harus dijunjung tinggi. Hal ini dipandang perlu, sebab untuk menghindari konflik antar aktor-aktor didalamnya, meskipun kadangkala konflik dibutuhkan dalam batasan-batasan tertentu. Berkonflik lalu berkompromi, begitu seterusnya hingga menciptakan dinamika yang membuat proses politik dapat terus berkembang dan bertransformasi. Namun, ketika konflik politik ini tidak dapat dibendung, maka yang sering merasakan dampaknya tidak lain adalah masyarakat.
You may like
-
Negara, Masyarakat, dan Polisi: Relasi Kuasa dalam Bayang-Bayang Ketakutan
-
Sulyanto Pateda Siap Tandatangani Aspirasi Mahasiswa Soal UU TNI dan RUU Polri
-
GERINDRA: Yang Politis Itu Partai yang Menolak Beasiswa PIP
-
Fauzia Noorchaliza Tantu Dilantik sebagai Ketua Kohati HMI Cabang Bogor Periode 2024/2025
-
Indonesia Pasca Pilpres
-
Elnino di Mata Mahasiswa Amerika
Penulis : M.Z. Aserval Hinta
Di jaman ini, tiap orang seolah hidup di dua dunia sekaligus. Di satu sisi, kita punya kehidupan nyata dengan segala rutinitas yang kadang membosankan. Tapi di sisi lain, ada dunia digital yang selalu hidup—selalu ada hal baru yang muncul setiap kita buka layar. Kadang kita hanya ingin lihat sebentar, tapi tiba-tiba sudah habis waktu berjam-jam tanpa sadar. Scroll sedikit jadi scroll panjang, cuma mau cek notifikasi malah berakhir di video acak yang entah kenapa terasa menarik.
Buat Generasi Z seperti saya, media sosial itu semacam panggung kecil. Tempat menunjukkan versi terbaik dari diri sendiri—foto yang sudah diedit sedikit, caption yang dipikirkan matang, atau story yang sengaja dipost biar terlihat “oke”. Kita tahu itu hal biasa, tapi tetap aja kadang muncul perasaan aneh, seperti kita harus selalu terlihat baik-baik saja. Padahal, di balik layar, hidup ya nggak selalu semulus feed Instagram.
Di sana juga ada semacam dorongan untuk membandingkan diri. Melihat teman yang sudah sukses, jalan-jalan ke mana-mana, punya pasangan harmonis, atau karier yang seakan cepat banget naik. Dan tanpa sadar, kita merasa tertinggal. Padahal yang kita lihat cuma potongan kecil dari hidup orang lain—sekedar highlight, bukan keseluruhan cerita. Tapi media sosial memang pintar membentuk ilusi, sampai-sampai lupa bahwa setiap orang punya ritme masing-masing.
Meski begitu, media sosial juga punya sisi yang bikin kita tetap bertahan. Ada komunitas-komunitas kecil yang bikin kita merasa nggak sendirian. Ada tempat belajar hal baru, dari tips keuangan sampai cara foto biar aesthetic. Ada orang-orang baik yang tanpa sadar menguatkan kita lewat postingan sederhana. Di tengah ramainya dunia maya, kita tetap bisa menemukan hal-hal yang memberi arti.
Akhirnya, media sosial bukan cuma soal tampilan. Ia adalah cermin yang memperlihatkan siapa kita ketika sedang mencari tempat di dunia yang makin cepat berubah. Kita mungkin belum sempurna, masih belajar, masih jatuh bangun. Tapi selama kita tetap ingat bahwa hidup asli lebih penting daripada likes dan views, dunia digital ini bisa jadi ruang yang bukan hanya menghibur, tapi juga membentuk kita jadi pribadi yang lebih sadar dan lebih manusia.
Gen Z
Oleh : Sudirman Mile
Sejak facebook bisa menghasilkan uang dg merubah akun biasa menjadi akun profesional, begitu banyak yg jadi tidak profesional dalam menghadirkan konten di setiap postingan mereka.
Dari hak cipta hingga adab dan etika dalam mengkomposisi dan menyebarkan sebuah konten, tidak dipelajari dan diperhatikan oleh orang-orang ini, dan hasilnya, viral secara instan namun gaduh dan membuat polemik di tengah masyarakat.
Beberapa contoh kasus telah sering terjadi, dan yg menyedihkan adalah, para pegiat medsos lain ikut serta di dalam kolom komentar seolah menjadi wasit maupun juri tentang hal yg menjadi pembahasan.
Booming dan menjadi pembicaraan dimana-mana. Setiap orang merasa bangga krn bisa terlibat dalam konten-konten viral tersebut walaupun jauh dari manfaat dan nilai-nilai edukasi.
Di kalangan milenial dan gen z yg awam, ini membentuk opini mereka bahwa, trend polemik dalam bermedsos hari ini adalah sebuah kewajaran hingga membuat mereka menormalisasi keadaan tadi di aktifitas kesehariannya.
Akibatnya, para pegiat media sosial yang tidak memperhatikan isi kontennya secara baik tadi, menciptakan musuh dan lawan di kehidupan nyatanya, bahkan saling melaporkan satu sama lain akibat tindakan yg tidak menyenangkan dari sesama pegiat medsos lainnya.
Olehnya, dalam menjadi kreator konten di jaman yg serba cepat segala informasinya, kita butuh belajar dan memahami banyak aspek, agar bermedsos dan monetisasi selaras dg nilai-nilai edukasi yg seharusnya menjadi tujuan dalam bermedia sosial, yakni menyambung tali persaudaraan melalui dunia internet.
Gorontalo
Yang Menyatukan Warga Ternyata Bukan Kafe Mewah, Tapi Kursi Lipat
Published
2 weeks agoon
12/11/2025
Oleh: Zulfikar M. Tahuru
Gorontalo – Pelataran Pasar Sentral di Kota Gorontalo belakangan menjadi ruang berkumpul yang semakin ramai. Pada malam hari, area yang siang harinya dipenuhi aktivitas jual beli kebutuhan dapur itu berubah menjadi titik temu warga. Kursi lipat, booth portabel yang bisa pasang-bongkar dengan cepat, serta deretan pedagang UMKM membentuk suasana yang hangat dan cair. Di sini, orang-orang merasa cukup hadir apa adanya — tanpa desain interior, tanpa tema suasana, dan tanpa batasan sosial tak kasat mata.
Fenomena ini menunjukkan perubahan kebiasaan warga dalam memilih ruang perjumpaan sosial. Jika sebelumnya banyak aktivitas berkumpul berlangsung di kafe dan ruang privat yang menonjolkan estetika visual, kini ruang terbuka dengan biaya rendah justru lebih diminati. Selain pertimbangan harga, ruang terbuka memberi kenyamanan: siapa saja dapat hadir tanpa tekanan penampilan dan tanpa tuntutan minimal order.
Namun ada pertanyaan yang perlu dicermati lebih lanjut. Apakah keramaian ini merupakan perpindahan dari ruang yang lebih mahal menuju ruang terbuka? Ataukah sejak awal banyak warga yang memerlukan ruang sosial yang lebih ramah, dan baru sekarang ruang itu tersedia?
Demikian pula, siapa yang berjualan di sana: pelaku UMKM baru yang sedang membangun usaha, atau pelaku usaha yang sudah mapan yang memperluas cabang usahanya di ruang terbuka?
Pertanyaan-pertanyaan di atas layak diteliti secara lebih rinci oleh kalangan akademisi dan kaum terpelajar.
Yang jelas, Kota Gorontalo sedang menunjukkan arahnya. Ruang hidup itu tumbuh dari bawah. Dan sejauh ini, Pemerintah Kota memilih untuk mendukung dan memfasilitasi pertumbuhannya. Ruang publik tidak langsung dikenakan retribusi, tetapi dibiarkan menemukan bentuknya terlebih dahulu.
Tugas kita ke depan adalah memastikan bahwa ruang tersebut tetap inklusif, terbuka, dan tidak mengambil bentuk yang hanya menguntungkan sebagian kecil pihak.
Desember Kian Dekat, DEPROV Tekankan Perbaikan Jalan dan Jembatan Rusak di Gorontalo
Alasan klasik OPD dinilai jadi dalih program IKM mangkrak di Gorontalo
Transparansi Layanan, RSUD Otanaha Undang Publik dalam FKP
Ramai Gerakan “Stop Tot Tot Wuk Wuk”, Korlantas Jawab dan Beberkan Dampaknya
Pengawasan Tambang Berujung Teror, Mikson Yapanto Minta Perlindungan
Menakar Fungsi Kontrol di DPRD Kota Gorontalo
Menolak Lupa: Tragedi 2 Januari 2025, Ketika Keadilan untuk Julia Belum Datang
Panasnya Konflik Sawit! DPRD Provinsi Gorontalo dan KPK Turun Tangan
Berani Bongkar Tambang Ilegal, Aktivis Muda Gorontalo Dapat Ancaman Brutal
Bukan Rapat Biasa, Instruksi Gerindra Tegaskan Kader Harus Kompak dan Berdampak untuk Mayoritas Rakyat
PKK GELAR JAMBORE PKK TINGKAT KABUPATEN GORUT
Kota Gorontalo Peringkat kedua Internet Paling Ngebutt se-Indonesia
PIMPIN RAPAT PENYERAPAN PROGRAM, BUPATI PUAS HASIL EVALUASI
PEMKAB GORUT BERIKAN BANTUAN RP. 1 JUTA/ORANG UNTUK JAMAAH CALON HAJI
Dua Kepala Desa Di copot Bupati
Terpopuler
-
News2 months agoMenggugat Kaum Terpelajar di Tengah Demokrasi yang Dikuasai Kapital
-
Gorontalo2 months agoDiusir Pemprov Saat Rakor, Kwarda Pramuka: “Kami yang Inisiasi Rapat, Kok Kami yang Tidak Dikasih Masuk?”
-
Gorontalo2 months agoDugaan Pungli di SPBU Popayato, Kasmat Toliango Menantang Pihak Direktur untuk Lapor Polisi
-
Advertorial2 months agoSkorsing dan Sanksi Berat untuk MAPALA UNG: Temuan Kasus Meninggalnya Mahasiswa
-
Gorontalo3 months agoTerendus Batu Hitam Ilegal Menuju Pelabuhan Pantoloan Palu, Otoritas Pelabuhan & APH Diminta Bertindak
-
Gorontalo1 month agoWarga Kota Gorontalo ini Tawarkan Konsep Dual-Fungsi Pasar Sentral: Solusi untuk Ekonomi dan Kreativitas Gorontalo
-
Hiburan3 months agoKejatuhan Nas Daily: Dari Inspirasi Dunia Jadi Bahan Bully Global!
-
Gorontalo2 months agoMabuk Picu Aksi Brutal, Iptu di Pohuwato Bacok Bripka Hingga Luka Parah
