Ruang Literasi
POLITIK IDENTITAS MENJELANG PEMILU 2019
Published
7 years agoon
Oleh : Shaqti Qhalbuddin Jusuf
Fungsionaris PB HMI Periode 2018-2020
Tahun 2018 memulai dinamika politik baru di Indonesia menuju pemilihan umum 2019. Dalam kampanye pemilihan, isu identitas menjadi salah satu topik yang sering dibahas dan menjadi fokus utama. Ini mengalihkan perhatian dari program-program yang ditawarkan oleh calon dan dapat memiliki dampak negatif pada kualitas demokrasi di Indonesia. Perdebatan tentang identitas dan isu-isu yang berkaitan dapat menimbulkan polarisasi dan mengurangi diskusi produktif tentang hal-hal seperti visi dan misi calon, solusi untuk masalah negara, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kebijakan publik.
Politik identitas merupakan isu penting dalam perpolitikan Indonesia, khususnya dalam kontestasi pemilihan umum. Meskipun isu ini tidak baru, istilah “politik identitas” sendiri mungkin masih kurang familiar bagi sebagian besar masyarakat. Politik identitas dapat didefinisikan sebagai gaya politik yang berusaha memperjuangkan hak dan martabat kelompok tertentu yang dirasa termarginalisasi. Hal ini bisa dilakukan dengan memperkuat rasa identitas bersama melalui faktor-faktor seperti suku, agama, ras, jenis kelamin, atau kepentingan yang sama.
Ditengah kondisi masyarakat yang masih berharap kepentingan dari kelompok mereka dapat terealisasi, politik identitas dapat dijadikan senjata yang cukup ampuh dalam memenangkan pemilu. Politik identitas ini biasa digunakan oleh para calon untuk menggambarkan citra diri bahwa ada kesamaan latarbelakang ataupun tujuan yang sesuai dengan kepentingan kelompok masyarakat tertentu, hal ini semata-mata untuk menarik simpati dari kelompok masyarakat itu agar mau menyumbangkan suara mereka untuk calon tersebut.
Politik identitas memang dapat menjadi strategi yang menarik perhatian dan meraup suara. Namun, harus diakui bahwa politik identitas juga memiliki beberapa efek samping. Pada saat sebuah kelompok masyarakat memiliki identitas dan kepentingan yang sama dengan calon yang berkampanye, persatuan antara mereka dapat tercipta. Namun, pada saat yang sama, ada kemungkinan juga akan terjadi perpecahan karena ada kelompok masyarakat lain yang memiliki identitas dan kepentingan yang berbeda dari apa yang ditawarkan oleh calon tersebut.
Konflik sosial menjelang pemilu biasanya muncul akibat menguatnya politik identitas. Narasi dalam politik identitas yang muncul menjelang pemilu 2019 berpotensi menimbulkan segregasi dalam tatanan sosial di masyarakat. Keretakan yang muncul dari pertemanan hingga kekeluarga akibat perbedaan pilihan dukungan terhadap calon tertentu. Penerapan politik identitas yang menyimpang akan sangat merugikan suatu kelompok yang memiliki satu identitas yang sama. Apalagi menjelang Pilpres 2019 ini, terjadi peningkatan hate speech (ujaran kebencian) yang memenuhi ruang-ruang publik terutama di media sosial.
Politik identitas, meskipun memiliki peran penting dalam demokrasi dan menjadi wadah aspirasi bagi kelompok-kelompok yang memiliki identitas tertentu, harus diterjemahkan dengan cara yang sopan dan berkualitas. Identitas politik harus memperhatikan etika dan moral, serta tidak mengabaikan atau menghina kelompok lain yang berbeda. Dalam hal ini, politik identitas baik yang berbasis pada agama, etnis, kedaerahan, maupun yang bernuansa ideologi, paham, dan polarisasi politik yang ekstrem, harus dikembangkan dengan cara yang tidak merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
Polarisasi Politik Identitas
Polarisasi politik identitas yang berkembang saat ini, membawa dampak negatif pada keharmonisan sosial di masyarakat. Elite politik seharusnya memimpin dengan baik dan memberikan contoh bagaimana berkompetisi secara sehat dan elegan, namun ternyata banyak dari mereka yang justru memperkeruh situasi dengan mengabaikan etika dan moral. Hasilnya, bullying, pemblokiran akun media sosial, perpecahan kelompok-kelompok keluarga, bahkan tindak kekerasan terhadap pihak yang berbeda orientasi politik, menunjukkan bahwa masyarakat gagal dalam menilai perbedaan demokratis.
Virus kengototan dalam mempertahankan nilai-nilai kebenaran masing-masing, turut memperparah situasi. Para elite politik bertanggung jawab untuk membimbing masyarakat dengan pendidikan politik yang baik dan mengajarkan nilai-nilai demokrasi yang sebenar-benarnya. Rekonsiliasi nasional juga sangat penting untuk memperbaiki situasi dan menyelesaikan kegaduhan yang membahayakan.
Di samping itu, masyarakat sendiri perlu memperkuat cara berpikir rasional dan menerima perbedaan, termasuk dalam hal pilihan politik. Tanpa rasa toleransi dan memahami perbedaan, situasi akan terus memburuk dan merugikan masyarakat secara keseluruhan.
Pemilihan presiden dan gubernur di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah memperlihatkan tanda-tanda polarisasi yang sangat kuat. Dalam Pilpres 2014 dan Pilgub Jakarta 2017, diskursus media sosial memainkan peran besar dalam memperluas perpecahan dalam masyarakat. Fenomena polarisasi semakin jelas terlihat sejak Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017, dan mencapai titik puncaknya pada Pilpres 2019. Dalam Pilgub DKI Jakarta 2017, fokus kampanye yang berpusat pada Islam dan rehabilitasi istilah “pribumi” merupakan contoh nyata dari polarisasi politik. Isu agama, terutama pernyataan kontroversial Ahok terhadap surat Al-Maidah ayat 51, memiliki dampak signifikan terhadap kemenangan Anies-Sandi dalam pemilihan tersebut.
Menjelang pemilu tahun 2019, konflik-konflik pembelahan politik yang terpolarisasi seperti panggilan “cebong” bagi pendukung calon presiden petahana Joko Widodo dan “kampret” untuk pendukung Prabowo Subianto. Pembelahan-pembelahan semacam ini perlu direduksi, sebab kedamaian dan keharmonisan merupakan entitas yang harus terus dilestarikan di tengah-tengah masyarakat.
Persatuan ditengah Kemajemukan
Secara Sunatullah, setiap orang memang lahir berbeda antara satu dengan yang lain. Perbedaan merupakan suatu hal yang tidak dapat diterima oleh seluruh masyarakat, namun harus diterima dan dalam hal ini disikapi secara bijak. Dalam UUD 1945, perbedaan diterima dengan cara memberikan perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif pada setiap warga negara. Pasal 27 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki martabat dan hak yang sama dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tersebut tanpa terkecuali.
Keberagaman adalah sebuah ciri khas yang membuat bangsa Indonesia begitu unik. Dengan berbagai latar belakang, identitas, dan keyakinan, kita berhasil menjadi satu kesatuan yang kuat dan bersatu. Meskipun banyak perbedaan yang mendasar, namun kita pasti mampu mengatasi hal tersebut dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip persatuan dan kesatuan sebagai bangsa Indonesia.
Politik dan Aktivitas Sosial
Dunia politik merupakan sebuah domain aktivitas sosial yang menyangkut perebutan dan pendistribusian kekuasaan. Dunia politik mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan domain aktivitas sosial lainnya. Karekter tersebut terbagi atas; Pertama, masyarakat turut terlibat secara langsung maupun tidak langsung di dalam dunia politik. Artinya, ada masyarakat yang secara langsung turut terjun dalam proses politik dan ada juga masyarakat yang tidak berperan apa-apa, tetapi keduanya merasakan dampak dari aktivitas politik tersebut.
Kedua, tersedianya institusi (lembaga) yang secara legal mengatur aktivitas politik. Lembaga inilah yang menjadi tools (alat) dalam aktivitas politik, seperti; publik, media, penyelenggara pemilu, parpol serta parlemen. Ketiga, aturan main dan etika dalam dunia perpolitikan merupakan hal yang harus dijunjung tinggi. Hal ini dipandang perlu, sebab untuk menghindari konflik antar aktor-aktor didalamnya, meskipun kadangkala konflik dibutuhkan dalam batasan-batasan tertentu. Berkonflik lalu berkompromi, begitu seterusnya hingga menciptakan dinamika yang membuat proses politik dapat terus berkembang dan bertransformasi. Namun, ketika konflik politik ini tidak dapat dibendung, maka yang sering merasakan dampaknya tidak lain adalah masyarakat.
You may like
-
Negara, Masyarakat, dan Polisi: Relasi Kuasa dalam Bayang-Bayang Ketakutan
-
Sulyanto Pateda Siap Tandatangani Aspirasi Mahasiswa Soal UU TNI dan RUU Polri
-
GERINDRA: Yang Politis Itu Partai yang Menolak Beasiswa PIP
-
Fauzia Noorchaliza Tantu Dilantik sebagai Ketua Kohati HMI Cabang Bogor Periode 2024/2025
-
Indonesia Pasca Pilpres
-
Elnino di Mata Mahasiswa Amerika
News
Tak Ada Lagi TikTok untuk Bocah, Australia Resmi Sapu Bersih Akun Medsos Remaja
Published
1 week agoon
11/12/2025
NEWS – Pemerintah Australia memberlakukan larangan bagi semua anak dan remaja di bawah 16 tahun untuk memiliki atau mengakses akun di sedikitnya 10 platform besar seperti TikTok, Instagram, Facebook, X, Snapchat, YouTube, Reddit, dan lainnya. Undang-undang ini merupakan bagian dari perubahan aturan keamanan online dan mulai berlaku secara nasional pada 10 Desember 2025, setelah sebelumnya disahkan parlemen pada 2024.
Perusahaan yang tidak mengambil langkah “wajar” untuk menghapus atau mencegah akun pengguna di bawah 16 tahun terancam denda hingga 49,5 juta dolar Australia (sekitar 33 juta dolar AS). Pemerintah juga mewajibkan platform menerapkan verifikasi usia dan mekanisme teknis lain untuk memastikan anak tidak lagi dapat membuat akun baru maupun mengakses akun lama mereka.
Data pemerintah menunjukkan ada ratusan ribu akun milik anak usia 13–15 tahun yang terdampak langsung oleh aturan baru ini. Perdana Menteri Anthony Albanese menyebutkan terdapat sekitar 440.000 akun Snapchat, 350.000 akun Instagram, sekitar 150.000 akun Facebook, dan 200.000 akun TikTok yang dipegang anak berusia 13–15 tahun di Australia.
Secara keseluruhan, lebih dari satu juta akun milik pengguna di bawah 16 tahun diperkirakan harus dihapus atau dinonaktifkan oleh berbagai platform. Beberapa aplikasi perpesanan dan layanan tertentu seperti WhatsApp, Messenger, YouTube Kids, Discord, GitHub, dan sejenisnya dikecualikan dari larangan penuh, meski tetap berada di bawah pengawasan aturan keamanan online yang lebih ketat.
Pemerintah Australia menjustifikasi kebijakan ini sebagai langkah radikal untuk melindungi kesehatan mental dan keselamatan anak dari dampak algoritma media sosial yang dianggap adiktif dan sarat konten berbahaya. Lonjakan kasus perundungan siber, paparan konten kekerasan dan seksual, hingga kekhawatiran soal risiko grooming dan peningkatan angka bunuh diri di kalangan generasi muda menjadi dasar utama kebijakan ini.
Dalam berbagai kesempatan, Perdana Menteri Anthony Albanese menggambarkan hari berlakunya larangan ini sebagai momentum ketika keluarga Australia “merebut kembali kendali” dari perusahaan teknologi besar dan menyebut kebijakan tersebut sebagai perubahan sosial dan budaya besar bagi negaranya. Ia menegaskan bahwa efek kebijakan ini tidak hanya akan dirasakan di Australia, tetapi juga berpotensi mendorong negara lain mengambil langkah serupa dalam beberapa bulan ke depan.
Media internasional seperti BBC, Reuters, Al Jazeera, Time, dan NPR menyoroti kebijakan ini sebagai larangan media sosial untuk anak yang pertama di dunia dengan cakupan sangat luas. Laporan mereka menekankan bahwa 10 platform terbesar dunia kini wajib memastikan tidak ada akun pengguna Australia di bawah 16 tahun di layanan mereka, atau berhadapan dengan denda besar dari otoritas Australia.
Negara lain mulai menimbang langkah serupa, dengan Malaysia sudah mengumumkan rencana melarang akses media sosial bagi anak di bawah 16 tahun mulai 2026, dan beberapa negara Eropa seperti Prancis, Denmark, Norwegia, serta Uni Eropa memantau atau menyiapkan kebijakan pembatasan usia yang lebih ketat. Di sisi lain, UNICEF dan sebagian pakar kebebasan berekspresi mengingatkan bahwa larangan usia saja tidak cukup dan bisa mendorong anak beralih ke ruang daring yang lebih sulit diawasi, sehingga perbaikan desain platform dan moderasi konten tetap mutlak diperlukan.
Tabel ringkas poin kebijakan
| Aspek | Rincian utama |
|---|---|
| Usia yang dilarang | Anak dan remaja di bawah 16 tahun. |
| Platform utama | TikTok, Instagram, Facebook, X, Snapchat, YouTube, Reddit, dsb. |
| Dasar hukum | UU/aturan perubahan keamanan online dan usia minimum media sosial 2024. |
| Mulai berlaku | 10 Desember 2025. |
| Sanksi untuk platform | Denda hingga 49,5 juta dolar Australia jika tak cegah akun di bawah 16. |
| Perkiraan jumlah akun | Lebih dari satu juta akun anak terdampak. |
Ruang Literasi
“BUMI” Mengajak Publik Mendengar Bumi Berbicara Lewat Seni
Published
2 weeks agoon
04/12/2025
Gelaran seni bertajuk BUMI: Integralitas Tubuh–Rasa resmi dibuka di Galeri Dewan Kesenian Surabaya (DKS) pada malam 1 Desember 2025. Pameran ini langsung menarik minat publik karena menyoroti isu ekologi melalui pendekatan lintas disiplin seni. Pameran berlangsung selama satu pekan, 1–7 Desember 2025, dengan menghadirkan puluhan seniman dari berbagai kota.
Pembukaan dilakukan oleh Syaiful Mudjib, seniman dan tokoh Surabaya. Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa pameran ini menjadi ruang penting untuk membaca kondisi bumi melalui bahasa seni. Menurutnya, karya-karya yang ditampilkan menawarkan cara baru memahami kerusakan ekologi tanpa terkesan menggurui.
Pameran BUMI menampilkan lebih dari 35 karya, dari berbagai seniman antara lain Uret Pariono, Caulis Itong, Radillah, Hananta, Merlyna AP, Adhik Kristiantoro, Risdianto, hicak, Lanjar Jiwo, EFKA Mizan, S.E. Dewantoro (Gepeng), Imam Rastanegara, Bang Toyib, Hendra Cobain, Agus Cavalera, Ibob Susu, Robi Meliala, Dani Croot, Afif, Helmy Hazka, Suki, Rinto Agung, Susilo Tomo, Dwest, Biely, Bayu Kabol, Anggoro, Mie Gemes, Gopel, Rusdam, Miki, Boy Tatto, Arsdewo, Heri Purnomo, Syalabia Yasah, Hallo Tarzan, Rinto Agung. Selain itu, beberapa komunitas turut ambil bagian, seperti BAKAR (Batalyon Kerja Rupa) SeBUMI, Family Merdeka, INJAK TANAH, MOM, BOMBTRACK, ATOZ.
Dukungan penuh hadir dari Dewan Kesenian Surabaya, Dewan Kesenian Jawa Timur, Slamet Gaprax, Irma, Paksi, AKA Umam, komunitas pengamen Bungurasi A minor, Pokemon, Mak Yati (teater Api), Hose Of P studio, Pena Hitam, Kopi Sontoloyo & Sontoloyo Gubeng Surabaya, Organized Chaos Sound, Art Cukil Tshirt, serta makhluk tak terlihat di balik karya.
Karya-karya tersebut mengisi galeri dengan instalasi, lukisan, teks, arsip suara, puisi, hingga performa yang bergerak di antara isu tubuh, tanah, dan perubahan ekologis. Konsep pameran dirumuskan oleh Hari Prajitno, M.Sn., yang menempatkan tanah sebagai medium utama eksistensi manusia. Ia menjelaskan bahwa seluruh karya berangkat dari gagasan bahwa tubuh manusia dan bumi memiliki keterhubungan material. “Tubuh dan tanah bukan dua hal yang terpisah. Kita berasal dari tanah, dan suatu hari akan kembali ke tanah,” tegasnya.
Salah satu fokus yang dinikmati pengunjung adalah instalasi visual yang menampilkan citra tanah retak, tekstur bumi yang rusak, serta bunyi-bunyian yang memotret suasana ekologis terkini. Karya-karya tersebut menciptakan atmosfer yang membuat pengunjung merasakan kondisi bumi secara langsung, bukan sekadar membaca data atau kampanye. Selain itu, terdapat kegiatan seperti penanaman pohon di hutan kota, workshop cukil dan batik di Gang Dolly, serta diskusi seni.
Selain pameran karya, acara ini juga menayangkan film dokumenter garapan Daniel Rudi Haryanto. Film tersebut menampilkan potret kerusakan lingkungan di berbagai daerah tanpa narasi berlebihan, namun cukup kuat membangun kesadaran penonton tentang kondisi yang sedang berlangsung. Tepuk tangan panjang mengiringi pemutaran film perdana malam itu.
Pada hari sama, panggung performance di galeri diisi oleh Pandai Api, Family Merdeka, Bombtrack, Magixridim, Arul Lamandau, dan pembawa berkah Aulia. Mereka tampil dengan gaya khas masing-masing dan membawa energi yang memperkuat pesan pameran: manusia dan bumi tidak terpisah; krisis ekologi adalah krisis tubuh itu sendiri.
Pameran dipandu oleh Deni Indrayanti dan Caulis Itong. Pameran ini tidak menampilkan poster ajakan menyelamatkan lingkungan atau slogan klise. Pesan ekologis disampaikan melalui pengalaman inderawi: suara gesekan, cahaya redup, tubuh performer, aroma material bumi, hingga keheningan yang sengaja dihadirkan. Pendekatan inilah yang membuat BUMI tampil berbeda dibanding pameran bertema lingkungan pada umumnya.
Pengunjung pembukaan tampak menikmati rangkaian karya sambil berdiskusi santai di area galeri. Beberapa mengaku memperoleh pengalaman baru dalam melihat isu lingkungan. “Rasanya seperti diajak melihat bumi dari dalam tubuh sendiri,” ujar seorang pengunjung.
Pameran BUMI: Integralitas Tubuh–Rasa masih berlangsung hingga 7 Desember di Galeri DKS, Jl. Gubernur Suryo No.15, Embong Kaliasin, Surabaya. Panitia memastikan pameran tetap dibuka setiap hari hingga penutupan. Acara ini menjadi salah satu agenda seni paling reflektif di akhir tahun, dan menekankan pesan tegas bahwa bumi sedang berbicara—tinggal bagaimana manusia mendengarnya.
Penulis : M.Z. Aserval Hinta
Di jaman ini, tiap orang seolah hidup di dua dunia sekaligus. Di satu sisi, kita punya kehidupan nyata dengan segala rutinitas yang kadang membosankan. Tapi di sisi lain, ada dunia digital yang selalu hidup—selalu ada hal baru yang muncul setiap kita buka layar. Kadang kita hanya ingin lihat sebentar, tapi tiba-tiba sudah habis waktu berjam-jam tanpa sadar. Scroll sedikit jadi scroll panjang, cuma mau cek notifikasi malah berakhir di video acak yang entah kenapa terasa menarik.
Buat Generasi Z seperti saya, media sosial itu semacam panggung kecil. Tempat menunjukkan versi terbaik dari diri sendiri—foto yang sudah diedit sedikit, caption yang dipikirkan matang, atau story yang sengaja dipost biar terlihat “oke”. Kita tahu itu hal biasa, tapi tetap aja kadang muncul perasaan aneh, seperti kita harus selalu terlihat baik-baik saja. Padahal, di balik layar, hidup ya nggak selalu semulus feed Instagram.
Di sana juga ada semacam dorongan untuk membandingkan diri. Melihat teman yang sudah sukses, jalan-jalan ke mana-mana, punya pasangan harmonis, atau karier yang seakan cepat banget naik. Dan tanpa sadar, kita merasa tertinggal. Padahal yang kita lihat cuma potongan kecil dari hidup orang lain—sekedar highlight, bukan keseluruhan cerita. Tapi media sosial memang pintar membentuk ilusi, sampai-sampai lupa bahwa setiap orang punya ritme masing-masing.
Meski begitu, media sosial juga punya sisi yang bikin kita tetap bertahan. Ada komunitas-komunitas kecil yang bikin kita merasa nggak sendirian. Ada tempat belajar hal baru, dari tips keuangan sampai cara foto biar aesthetic. Ada orang-orang baik yang tanpa sadar menguatkan kita lewat postingan sederhana. Di tengah ramainya dunia maya, kita tetap bisa menemukan hal-hal yang memberi arti.
Akhirnya, media sosial bukan cuma soal tampilan. Ia adalah cermin yang memperlihatkan siapa kita ketika sedang mencari tempat di dunia yang makin cepat berubah. Kita mungkin belum sempurna, masih belajar, masih jatuh bangun. Tapi selama kita tetap ingat bahwa hidup asli lebih penting daripada likes dan views, dunia digital ini bisa jadi ruang yang bukan hanya menghibur, tapi juga membentuk kita jadi pribadi yang lebih sadar dan lebih manusia.
Gen Z
Tak Kalah dari Sapi! Peneliti UNG Ungkap Keunggulan Susu Kambing Lokal
Berawal dari Arahan Wali Kota, Kelurahan Biawao Raih Juara Pemungutan PBB-P2
Sejarah Baru! RS Aloei Saboe Sukses Gelar Operasi Jantung Terbuka Pertama di Gorontalo
Tak Sekadar Slogan, Ini Makna Gerbang SIAAP bagi Pembangunan Pohuwato
Demi Kemanusiaan! UNG Kirim Relawan Medis ke Aceh
Menolak Lupa: Tragedi 2 Januari 2025, Ketika Keadilan untuk Julia Belum Datang
Bukan Rapat Biasa, Instruksi Gerindra Tegaskan Kader Harus Kompak dan Berdampak untuk Mayoritas Rakyat
Abai dan Bungkam: Refleksi Elit Gorut Atas Tragedi Julia
Gerindra Kota Gorontalo: Hentikan Pembohongan Publik dengan Video Kadaluarsa
Berawal dari Arahan Wali Kota, Kelurahan Biawao Raih Juara Pemungutan PBB-P2
PKK GELAR JAMBORE PKK TINGKAT KABUPATEN GORUT
Kota Gorontalo Peringkat kedua Internet Paling Ngebutt se-Indonesia
PIMPIN RAPAT PENYERAPAN PROGRAM, BUPATI PUAS HASIL EVALUASI
PEMKAB GORUT BERIKAN BANTUAN RP. 1 JUTA/ORANG UNTUK JAMAAH CALON HAJI
Dua Kepala Desa Di copot Bupati
Terpopuler
-
Gorontalo3 weeks agoMenolak Lupa: Tragedi 2 Januari 2025, Ketika Keadilan untuk Julia Belum Datang
-
News2 months agoMenggugat Kaum Terpelajar di Tengah Demokrasi yang Dikuasai Kapital
-
Gorontalo3 months agoDiusir Pemprov Saat Rakor, Kwarda Pramuka: “Kami yang Inisiasi Rapat, Kok Kami yang Tidak Dikasih Masuk?”
-
Gorontalo3 weeks agoBukan Rapat Biasa, Instruksi Gerindra Tegaskan Kader Harus Kompak dan Berdampak untuk Mayoritas Rakyat
-
Advertorial3 months agoSkorsing dan Sanksi Berat untuk MAPALA UNG: Temuan Kasus Meninggalnya Mahasiswa
-
Gorontalo2 months agoWarga Kota Gorontalo ini Tawarkan Konsep Dual-Fungsi Pasar Sentral: Solusi untuk Ekonomi dan Kreativitas Gorontalo
-
Gorontalo3 months agoMabuk Picu Aksi Brutal, Iptu di Pohuwato Bacok Bripka Hingga Luka Parah
-
Gorontalo2 months agoMenakar Fungsi Kontrol di DPRD Kota Gorontalo
